Rabu, 30 Mei 2012

Sekilas “Ahlussunnah Wal Jamaah”

Sekilas “Ahlussunnah Wal Jamaah” dari Embrio sampai ke-Manhajul Fikri Oleh : Nur Arqom Eka Fatria* A. Pendahuluan Dengan tidak memonopoli predikat sebagai satu-satunya golongan Ahlussunnah Wal Jamaah, organisasi PMII semenjak pertama berdirinya menegaskan diri sebagai penganut, pengemban dan pengembang islam ala ahlussunnah wal jamah. Dengan sekuat tenaga, PMII berusaha menempatkan diri sebagai pengamal setia dan mengajak seluruh kaum muslimin, terutama para warganya untuk menggolongkan diri pada Ahlussunnah Wal Jamaah. Pada hakikatnya, Ahlussunnah Wal Jamaah adalah ajaran islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rosulullah Saw. bersama para sahabatnya. Ketika Rosulullah Saw. Menerangkan bahwa umatnya akan terpecah-pecah menjadi 73 golongan, beliau menegaskan bahwa yang benar dan selamat dari sekian banyaknya golongan itu hanyalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Atas pertanyaan para sahabat, apakah Ahlussunnah Wal Jamaah itu, beliau merumuskan dengan sabdanya : “Apa yang Aku berada di atasnya, hari ini, bersama para sahabatku”. B. Firqah-firqah dalam islam Dalam sejarah islam telah tercatat adanya firqah-firqah di kalangan umat islam yang antara satu dan yang lainnya saling berbeda faham dan sulit dikompromikan. Hal ini, memang pernah diprediksikan oleh Rosulullah Saw. Beliau pernah menggambarkan akan timbulnya firqah-firqah di kalangan umat islam. Banyak hadits-hadits Rasulullah Saw yang menjelaskan tentang adanya perpecahan atau firqah-firqah ini. Dari hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : Sesudah Nabi Muhammad saw wafat, akan timbul kelompok umat islam yang saling berselisih faham yang jumlahnya tidak kurang dari 73 golongan. Di antara sekian banyaknya firqah (golongan) itu terdapat golongan yang disebut sebagai “Majusinya umat islam”, yaitu golongan yang mengingkari takdir. Bahkan, lebih tegas lagi dinyatakan bahwa dari sekian banyaknya golongan itu ada yang tidak lagi termasuk golongan umat islam, yaitu Murji’ah dan Qodariyah. di antara golongan yang banyak itu ada yang benar, yaitu golongan Ahlussunnah Wal Jamaah, yaitu golongan yang selalu berpegang kepada sunnah Nabi dan sunnah Khulafaur Rasyidin. Di dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan mufti syekh sayyid abdurrahman bin muhammad bin husen bin umar ba ‘Alawi, disebutkan bahwa ada tujuh firqah (golongan) yang tidak termasuk Ahlussunnah Wal Jamaah, sekaligus rincian dari 73 golongan tersebut, di antaranya seperti di dalam bagan di bawah ini : 1.Syi’ah yang berlebihan memuja sayyidina ali karramallahu wajhahu serta membenci para sahabat Rasullullah yang lain. Golongan ini terpecah menjadi : 22 Aliran 2.Khawarij Yang berlebihan membenci Sayyidina Ali K.W. bahkan di antara mereka ada yang mengkafirkannya. 20 Aliran 3.Mu’tazilah Yang berlebihan menggunakan akal (rasio) dan banyak meninggalkan dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadits).20 Aliran 4.Najariyah Yang mengingkari sifat-sifat tuhan. 3 Aliran 5.Jabariyah Yang berpendapat bahwa manusia itu majbur / tidak berdaya sama sekali.1 Aliran 6.Murji’ah Yang sangat murah memberikan pengertian atau batasan mengenai imam. Mereka memfatwakan bahwa kemaksiatan tidak akan memberikan mudlarrat terhadap seseorang yang telah menyatakan beriman.5 aliran 7.Musyabbihah Yang menyerupakan tuhan dengan manusia.1 Aliran Dengan memperhatikan ketujuh golongan tersebut di atas, beserta aliran-aliran sempalannya, maka jelaslah bahwa ada 72 aliran di luar golongan Ahlussunnah Wal Jamaah. Apabila ditambah dengan satu aliran lagi, yaitu faham Ahlussunnah Wal Jamaah, maka jumlah seluruh firqah dan aliran dalam islam sebanyak 73 golongan sebagaimana pernah diprediksikan dan digambarkan oleh Rasulullah Saw. Selain itu masih ada aliran-aliran baru yang masih dipertanyakan kislamannya, seperti Ahmadiyah, Salafiyah yang selanjutnya membaku menjadi gerakan wahabiyah. C. Sejarah dan Faktor-faktor Timbulnya Perpecahan (Firqah) Agama islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw merupakan satu kesatuan yang utuh dari tiga unsur, yaitu : iman, Islam, dan ihsan.ketiganya telah diterapkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw beserta para sahabatnya secara serempak, terpadu dan berkeseimbangan. Tidak ada yang lebih ditonjolkan dengan mengesampingkan yang lainnya. Tidak ada yang dipertentangkan, karena sesungguhnya agama islam itu bukan merupakan bahan pertentangan. Apabila terjadi hal yang kurang dapat dipahami, maka seluruh persoalan itu dikembakikan kepada rasullullah saw. Setelah beliau wafat, bibit perselisihan di antara umat islam mulai tampak. Mula-mula perselesihan para sahabat mengenai wafat tidaknya Rasulullah Saw, dan dimana beliau dimakamkan, dan siapa yang layak menggantikan beliau sebagai pemimpin umat islam. Namun, di antara ketiganya, yang berkembang menjadi perselisihan yang menyebabkan timbulnya firqah-firqah di kalangan umat islam adalah tentang “pengganti beliau sebagai pemimpin umat (khalifah)”. Pada perselisihan ini, ada tiga kelompok yang masing-masing mempunyai argumentasi sendiri, di antaranya Sahabat Anshar, Sahabat Muhajirin, dan kelompok sahabat yang mendukung Bani Hasyim (Ali bin abi Thalib). Semua ketiga-tiganya tersebut mengusung sahabat dari kalangan mereka masing-masing yang dipandang pantas untuk menggantikan Rasulullah Saw sebagai pemimpin umat islam pada waktu itu. Namun, perbedaan pendapat masalah khalifah ini dapat diatasi dengan tampilnya Sahabat Abu Bakar dan selanjutnya sahabat Umar bin Khattab menjadi khalifah pertama dan kedua dari khulafaur Rasyidin yang memang mendapat dukungan luas dari umat islam kala itu. Akan tetapi pada akhir pemerintahan sahabat Utsman bin Affan perselisihan masalah khalifah ini muncul kembali, sehingga menjadi pemicu timbulnya perpecahan dan firqah-firqah di kalangan islam. Hal ini, sebenarnya disebabkan munculnya seorang Yahudi yang lahir di Yaman bernama abdullah bin Saba’. Ia mengaku masuk islam tetapi dengan sengaja menghembuskan api perpecahan di antara sesama umat islam dengan mempropagandakan semangat anti Kalifah Utsman dengan ajarannya “al-Washilah” yang pada intinya mengajarkan bahwa kekhalifahan itu merupakan bagian dari syariat islam, artinya seorang khalifah itu harus berdasarkan atas wasiat Rasulullah Saw. Propaganda Abdullah bin saba’ ini tumbuh dengan subur di beberapa wilayah kekuasaan islam, seperti mesir, Kufah, dan Bashrah. Sejak itu muncullah aliran Syi’ah yang selanjutnya disusul aliran-aliran lain sebagai reaksi terhadap aliran syi’ah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa akar persoalan yang melatarbelakangi timbulnya firqah-firqah di kalangan umat islam adalah masalah-masalah politik (khalifah). Dari akar persoalan ini kemudian timbul usaha membentengi ajaran dengan rumusan-rumusan Syi’ah. Maka lahi9rlah firqah-firqah atau madzhab-madzhab di bidang fiqh dan aqidah bahkan juga tasawwuf. D. Sejarah dan Perkembangan ASWAJA Istilah Ahlussunnah Wal Jamaah kalau ditinjau secara etimologis maka jelaslah adanya ASWAJA tersebut sudah ada pada zaman Rasulullah Saw. Namun, ASWAJA sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum ASWAJA mengalami perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, artinya memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua,Proses konsolidasi awal dan mencapai pucaknya setelah imam al-Syafi’I (w. 205 H/820 M) berhasil menetapkan hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an dalam kontruksi pemikiran hukum islam. Ketiga, merupakan Kristalisasi teologi sunni, di satu pihak menolak adanya rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus di tempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yaitu ; abu hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M) di Mesopotamia, dan juga Abu mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di samarkandi, dan ahmad bin Ja’far al-Thahawi (w.331 H/944 M) di Mesir. Pada tahap kristalisasi inilah abu hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Di Indonesia, ASWAJA menyebar luas dengan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari lewat organisasinya yaitu NU (Nahdlatul Ulama) dengan konsep ASWAJA yang lebih konkrit, beliau menyatakan bahwa, islam Ahlussunnah Wal Jamaah adalah islam yang dalam bidang fiqih menganut satu dari empat madzhab, yaitu ; al-Syafi’I, al-Maliki, al-Hanafi dan al-Hanbali, dan dalam bidang teologi/ tauhid menganut satu dari dua madzhab, yaitu ; al-Asy’ari dan al-Maturidi, serta dalam bidang tasawuf menganut satu dari dua madzhab, yaitu ; al-ghazali dan al-Junaidi. Selain itu, para Ulama NU menganggap ASWAJA sebagai upaya pembakuan prinsip-prinsip Tawassut (moderat), Tasamuh (toleran) dan Tawazzun (seimbang) dan I’tidal (tegak lurus/ tidak condong kekiri-kirian atau kekanan-kanan-an). Di dalam tubuh PMII ASWAJA dijadikan sebagai Manhajul Fikri artinya ASWAJA bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Dan ternyata ASWAJA sebagai manhajul fikri di tubuh PMII ada banyak relevansinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun. Sebenarnya konsepsi ASWAJA sebagai Manhajul Fikri pertama kali dilontarkan oleh KH. Said Aqil siraj pada tahun 1991. walaupun hal tersebut mendapat tantangan yang berat dari kalangan sesepuh NU pada waktu itu, namun pada akhirnya, kian diterima masyarakat khususnya kalangan pemuda termasuk PMII. Bahkan di dalam tubuh PMII menjadi konsep dasar sekaligus sebagai prinsip organisasi. Adapun prinsip dasar dari ASWAJA sebagai manhajul fikri meliputi ; Tawassut (moderat), Tasamuh (toleran) dan Tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari Tawassut adalah selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat, namin tidak terjebak sehingga mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseombangan yang mendalam antara wahyau dan akal. Aktualisasi Tasamuh adalah dalam hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang dianjurkan hanya sebatas penyampaian saja yang ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari tuhan. Dan yang terakhir, aktualisasi Tawazzun. Penjabaran dari prinsip Tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maipun dalam kontekc politik sekalipun. E. Penutup Demikianlah sejarah dan perkembanga ASWAJA dari zaman ke zaman, namun tulisan ini masih belum sempurna dalam wacana ASWAJA, butuh diskusi lebih lanjut dan panjang. Lebih-lebih memahami isi ASWAJA sebagai ideologi ataupun Manhajul fikri, apalagi mengamalkannya. Mungkin hanya ini yang dapat kami sajikan, atas salah dan kekhilafannya mohon kritik dan sarannya demi membangun konstruk pemahaman ASWAJA yang sejati. “ Selamat Berdiskusi “. Referensi Achamd Shidiq, KH. Khittah Nahdliyah, Khalista, Surabaya, 2005. Abdul Rozak, Dr. Roshihon Anwar, Drs. Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2003 Makalah-makalah dan diskusi dua mingguan PMII, IPNU-IPPNU, GP. Anshor dan Lakspedam NU Lumajang. 2006.
Read more »»  

Sejarah PMII

Sejarah PMII Sejarah masa lalu adalah cermin masa kini dan masa datang. Dokumen historis, dengan demikian merupakan instrumen penting untuk mengaca diri. Tidak terkecuali PMII. Meski dokumen yang disajikan dalam tulisan ini terbilang kurang komplit, sosok organisasi mahasiswa tersebut sudah tergambar jelas berikut pemikiran dan sikap-sikapnya. PMII, yang sering kali disebut Indonesian Moslem Student Movement atau Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia adalah anak cucu NU (Nahdlatul Ulama) yang terlahir dari kandungan Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang juga anak dari NU. Status anak cucu inipun diabadikan dalam dokumen kenal lahir yang dibikin di Surabaya tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khodjijah pada tanggal 17 April 1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 H. Meski begitu bukan berarti lahirnya PMII berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan yang dihadapinya. Hasrat mendirikan mahasiswa NU memang sudah lama bergejolak, namun pihak PBNU belum memberikan green light, belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri buat mewadahi anak-anak NU yang belajar di Perguruan Tinggi. Namun kemauan anak-anak muda itu tak pernah kendor, bahkan terus berkobar dari kampus ke kampus. Bisa dimengerti karena kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkikkan untuk melahirkan organisasi baru. Banyak organisasi mahasiswa bermunculan di bawah naungan payung induknya, misalnya saja SEMMI (dengan PSII), KMI (dengan PERTI), HMI (lebih dekat ke MASYUMI), IMM (dengan Muhammadiyah), dan HIMMAH (dengan Al-Washliyah). Wajar jika anak-anak NU kemudian ingin mendirikan wadah sendiri dan bernaung di bawah panji dunia. Dan benar, keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk Ikatan Mahasiswa NU (IMANU) pada akhir 1955, yang diprakarsai oleh beberapa pimpinan pusat dari IPNU. Namun IMANU tak berumur panjang karena PBNU menolak keberadaannya. Bisa dipahami kenapa PBNU bertindak keras, sebab waktu itu IPNU baru saja lahir yaitu pada tanggal 24 Februari 1954. Apa jadinya jika baru lahir saja belum terurus sudah keburu menangani yang lain, logis sekali. Jadi keberatan PBNU bukan terletak pada prinsip berdiri atau tidaknya IMANU tapi lebih merupakan pertimbangan waktu, pembagian tugas, dan efektivitas organisasi. Dan baru setelah wadah “Departemen” itu dinilai tidak lagi efektif, tidak cukup kuat untuk menampung aspirasi mahasiswa NU, konferensi besar IPNU I (14-16 Maret 1960 di Kaliurang), sepakat mendirikan organisasi tersendiri. Lalu berkumpullah tokoh-tokoh mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU, dalam sebuah musyawarah tiga hari di Taman Pendidikan Khodijah, Surabaya. Dengan semangat membara, mereka menbahas nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka impikan dan idamkan. Bertepatan dengan itu, ketua umum PBNU, K.H. Idham Kholid, memberikan lampu hijau. Bahkan semangat pula membakar semangat agar mahasiswa NU menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang berprinsip. Ilmu untuk diamalkan dan bukan ilmu untuk ilmu ……. Maka lahirlah organisasi mahasiswa di bawah naungan pyung NU, pada 17 April 1960, lewat kandungan Departemen Perguruan Tinggi IPNU. Dan bayi yang baru lahir itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Dengan demikian, ide dasar pendirian PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri. Bahwa kemudian harus bernaung di bawah panji NU, itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis semata, misalnya karena kondisi politik saat itu yang nyaris menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Tapi lebih dari itu, keterikatan PMII pada NU memang sudah terbentuk dan memang sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur, akidah, cita-cita, bahkan pola berpikir, bertindak, dan berprilaku.
Read more »»  

NILAI DASAR PERGERAKAN (NDP)

- Nilai Dasar Pergerakan - NILAI DASAR PERGERAKAN (NDP) Berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berusaha menggali sumber nilai dan potensi insan warga pergerakan untuk dimodifikasi di dalam tatanan nilai baku yang kemudian menjadi citra diri yang diberi nama Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII. Hali ini dibutuhkan di dalam memberikan kerangka, arti dan motivasi dan wawasan pergerakan dan sekaligus memberikan dasar pembenar terhadap apa saja yang akan dan mesti dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan maksud didirikannya organisasi ini. Insaf dan sadar bahwa semua itu adalah kejarusan bagi setiap fungsionaris maupun anggota PMII untuk memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik secara orang perorang maupun bersama-sama. BAB I ARTI, FUNGSI, DAN KEDUDUKAN Arti : Secara esensial Nilai Dasar Pergerakan ini adalah suatu sublimasi nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dengan kerangka pemahaman keagamaan Ahlussunnah wal jama’ah yang menjiwai berbagai aturan, memberi arah dan mendorong serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam mendasari dan menginspirasi Nilai Dasar Pergerakan ini meliputi cakupan aqidah, syari’ah dan akhlak dalam upaya kita memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Dalam upaya memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai pemahaman keagamaan yang paling benar. Fungsi : Landasan berpijak: Bahwa NDP menjadi landasan setiap gerak langkah dan kebijakan yang harus dilakukan. Landasan berpikir : Bahwa NDP menjadi landasan pendapat yang dikemukakan terhadappersoalan-persoalan yang dihadapi. Sumber motivasi : Bahwa NDP menjadi pendorong kepada anggota untuk berbuat dan bergerak sesuai dengan nilai yang terkandung di dalamnya. Kedudukan : Rumusan nilai-nilai yang seharusnya dimuat dan menjadi aspek ideal dalam berbagai aturan dan kegiatan PMII. Landasan dan dasar pembenar dalam berpikir, bersikap, dan berprilaku. BAB II RUMUSAN NILAI DASAR PERGERAKAN 1. TAUHID : Meng-Esakan Allah SWT, merupakan nilai paling asasi yang dalam sejarah agama samawi telah terkandung sejak awal keberadaan manusia. Allah adalah Esa dalam segala totalitas, dzat, sifat-sifat, dan perbutan-perbuatan-Nya. Allah adalah dzat yang fungsional. Allah menciptakan, memberi petunjuk, memerintah, dan memelihara alam semesta ini. Allah juga menanamkan pengetahuan, membimbing dan menolong manusia. Allah Maha Mengetahui, Maha Menolong, Maha Bijaksana, Hakim, Maha Adil, dan Maha Tunggal. Allah Maha Mendahului dan Maha Menerima segala bentuk pujaan dan penghambaan. Keyakina seperti itu merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari pada alam semesta, serta merupakan kesadaran dan keyakinan kepada yang ghaib. Oleh karena itu, tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memadu, dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan, dan perwujudan dalam perbuatan. Maka konsekuensinya Pergerakan harus mampu melarutkan nilai-nilai Tauhid dalam berbagai kehidupan serta terkomunikasikan dan mermbah ke sekelilingnya. Dalam memahami dan mewujudkan itu, Pergerakan telah memiliki Ahlussunnah wal jama’ah sebagai metode pemahaman dan penghayatan keyakinan itu. 2. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH. Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baik kejadian dan menganugerahkan kedudukan terhormat kepada manusia di hadapan ciptaan-Nya yang lain. Kedudukan seperti itu ditandai dengan pemberian daya fikir, kemampuan berkreasi dan kesadaran moral. Potensi itulah yang memungkinkan manusia memerankan fungsi sebagai khalifah dan hamba Allah. Dalam kehidupan sebagai khalifah, manusia memberanikan diri untuk mengemban amanat berat yang oleh Allah ditawarkan kepada makhluk-Nya. Sebagai hamba Allah, manusia harus melaksanakan ketentuan-ketentauan-Nya. Untuk itu, manusia dilengkapi dengan kesadaran moral yang selalu harus dirawat, jika manusia tidak ingin terjatuh ke dalam kedudukan yang rendah. Dengan demikian, dalam kehidupan manusia sebagai ciptaan Allah, terdapat dua pola hubungan manusia dengan Allah, yaitu pola yang didasarkan pada kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dan sebagai hamba Allah. Kedua pola ini dijalani secara seimbang, lurus dan teguh, dengan tidak menjalani yang satu sambil mengabaikan yang lain. Sebab memilih salah satu pola saja akan membawa manusia kepada kedudukan dan fungsi kemanusiaan yang tidak sempurna. Sebagai akibatnya manusia tidak akan dapat mengejawentahkan prinsip tauhid secara maksimal. Pola hubungan dengan Allah juga harus dijalani dengan ikhlas, artinya pola ini dijalani dengan mengharapkan keridloan Allah. Sehingga pusat perhatian dalam menjalani dua pola ini adalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Sedangkan hasil optimal sepenuhnya kehendak Allah. Dengan demikian, berarti diberikan penekanan menjadi insan yang mengembangkan dua pola hubungan dengan Allah. Dengan menyadari arti niat dan ikhtiar, sehingga muncul manusia-manusia yang berkesadaran tinggi, kreatif dan dinamik dalam berhubungan dengan Allah, namun tetap taqwa dan tidak pongah Kepada Allah. Dengan karunia akal, manusia berfikir, merenungkan dan berfikir tentang ke-Maha-anNya, yakni ke-Mahaan yang tidak tertandingi oleh siapapun. Akan tetapi manusia yang dilengkapi dengan potensi-potensi positif memungkinkan dirinyas untuk menirukan fungsi ke-Maha-anNya itu, sebab dalam diri manusia terdapat fitrah uluhiyah – fitrah suci yang selalu memproyeksikan terntang kebaikan dan keindahan, sehingga tidak mustahil ketika manusia melakukan sujud dan dzikir kepadaNya, Manusia berarti tengah menjalankan fungsi Al Quddus. Ketika manusia berbelas kasih dan berbuat baik kepada tetangga dan sesamanya, maka ia telah memerankan fungsi Arrahman dan Arrahim. Ketikamanusia bekerja dengan kesungguhan dan ketabahan untuk mendapatkan rizki, maka manusia telah menjalankan fungsi Al Ghoniyyu. Demikian pula dengan peran ke-Maha- an Allah yang lain, Assalam, Al Mukmin, dan lain sebagainya. Atau pendek kata, manusia dengan anugrah akal dan seperangkat potensi yang dimilikinya yang dikerjakan dengan niatyang sungguh-sungguh, akan memungkinkan manusia menggapai dan memerankan fungsi-fungsi Asma’ul Husna. Di dalam melakukan pekerjaannya itu, manusia diberi kemerdekaan untuk memilih dan menentukan dengan cara yang paling disukai. 14) Dari semua pola tingkah lakunya manusia akan mendapatkan balasan yang setimpal dan sesuai yang diupayakan, karenanya manusia dituntut untuk selalu memfungsikan secara maksimal ke4merdekaan yang dimilikinya, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama dalam konteks kehidupan di tengah-tengah alam dan kerumunan masyarakat, sebab perubahan dan perkembangan hanyalah milikNya, oleh dan dari manusia itu sendiri.15) Sekalipun di dalam diri manusia dikaruniai kemerdekaan sebagai esensi kemanusiaan untuk menentukan dirinya, namun kemerdekaan itu selalu dipagari oleh keterbatasan-keterbatasan, sebab prerputaran itu semata-mata tetap dikendalaikan oleh kepastian-kepastian yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana,yang semua alam ciptaanNya iniselalu tunduk pada sunnahNya, pada keharusan universal atau takdir. 16 ) Jadi manusia bebas berbuat dan berusaha ( ikhtiar ) untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah dia menjadi mukmin atau kafir, pandai atau bodoh, kaya atau miskin, manusia harus berlomba-lomba mencari kebaikan, tidak terlalu cepat puas dengan hasil karyanya. Tetapi harus sadar pula dengan keterbatasan- keterbatasannya, karaena semua itu terjadi sesuai sunnatullah, hukum alam dan sebab akibat yang selamanya tidak berubah, maka segala upaya harus diserrtai dengan tawakkal. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya harus selalu dinamis, penuh dengan gerak dan semangat untuk berprestasi secara tidak fatalistis. Dan apabila usaha itu belum berhasil, maka harus ditanggapi dengan lapang dada, qona’ah (menerima) karena disitulah sunnatullah berlaku. Karenanya setiap usaha yang dilakukan harus disertai dengan sikap tawakkal kepadaNya. 17 ) 3. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MANUSIA Kenyataan bahwa Allah meniupkan ruhNya kepada materi dasar manusia menunjukan , bahwa manusia berkedudukaan mulia diantara ciptaan-ciptaan Allah. Memahami ketinggian eksistensi dan potensi yang dimiliki manusia, anak manusia mempunyai kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagai warga dunia manusia adalah satu dan sebagai warga negara manusia adalah sebangsa , sebagai mukmin manusia adalah bersaudara. 18) Tidak ada kelebihan antara yang satu dengan yang lainnya , kecuali karena ketakwaannya. Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, ada yang menonjol pada diri seseorang tentang potensi kebaikannya , tetapi ada pula yang terlalu menonjol potensi kelemahannya, agar antara satu dengan yang lainnya saling mengenal, selalu memadu kelebihan masing-masing untuk saling kait mengkait atau setidaknya manusia harus berlomba dalam mencaridanmencapai kebaikan, oleh karena itu manusia dituntut untuk saling menghormati, bekerjasama, totlong menolong, menasehati, dan saling mengajak kepada kebenaran demi kebaikan bersama. Manusia telah dan harus selalu mengembangkan tanggapannya terhadap kehidupan. Tanggapan tersebut pada umumnya merupakan usaha mengembangkan kehidupan berupa hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan demikian maka hasil itu merupakan budaya manusia, yang sebagian dilestarikan sebagai tradisi, dan sebagian diubah. Pelestarian dan perubahan selalu mewarnai kehidupan manusia. Inipun dilakukan dengan selalu memuat nilai-nilai yang telah disebut di bagian awal, sehingga budaya yang bersesuaian bahkan yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai tersebut dilestarikan, sedang budaya yang tidak bersesuaian diperbaharui. Kerangka bersikap tersebut mengisyaratkan bergerak secara dinamik dan kreatif dalam kehidupan manusia. Manusia dituntut untuk memanfaatkan potensinya yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Melalui pemanfaatan potensi diri itu justru manusia menyadari asal mulanya, kejadian, dan makna kehadirannya di dunia. Dengan demikian pengembangan berbagai aspek budaya dan tradisi dalam kehidupan manusia dilaksanakan sesuai dengan nilai dalam hubungan dengan Allah, manusia dan alam selaras dengan perekembangan kehidupandan mengingat perkembangan suasana. Memang manusia harus berusaha menegakan iman, taqwa dan amal shaleh guna mewujudkan kehidupan yang baik dan penuh rahmat di dunia. Di dalam kehidupan itu sesama manusia saling menghormati harkat dan martabat masing-masing , berderajat, berlaku adil dan mengusahakan kebahagiaan bersama. Untuk diperlukan kerjasama yang harus didahului dengan sikap keterbukaan, komunikasi dan dialog antar sesama. Semua usaha dan perjuangan ini harus terus -menerus dilakukan sepanjang sejarah. Melalui pandangan seperti ini pula kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara dikembangkan. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan kerelaan dan kesepakatan untuk bekerja sama serta berdampingan setara dan saling pengertian. Bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita bersama : hidup dalam kemajuan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Tolok ukur bernegara adalah keadilan, persamaan hukum dan perintah serta adanya permusyawaratan. Sedangkan hubungan antara muslim ddan non muslim dilakukan guna membina kehidupan manusia dengan tanpa mengorbankan keyakinan terhadap universalitas dan kebenaran Islam sebagai ajaran kehidupan paripurna. Dengan tetap berpegang pada keyakinan ini, dibina hubungan dan kerja sama secara damai dalam mencapai cita-cita kehidupan bersama ummat manusia. Nilai -nilai yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia tercakup dalam persaudsaraan antar insan pergerakan , persaudaraan sesama Islam , persaudaraan sesama warga bangsa dan persaudaraan sesama ummat manusia . Perilaku persaudaraan ini , harusd menempatkan insan pergerakan pada posisi yang dapatv memberikan kemanfaatan maksimal untuk diri dan lingkungan persaudaraan. 4. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM Alam semesta adalah ciptaan Allah SWT. 19) Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya.20) Alam juga menunjukan tanda-tanda keberadaan, sifat dan perbuatan Allah. 21) Berarti juga nilai taiuhid melingkupi nilai hubungan manusia dengan alam . Sebagai ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia. Namun Allah menundukan alam bagi manusia , 22) dan bukan sebaliknya . Jika sebaliknya yang terjadi, maka manusia akan terjebak dalam penghambaan terhadap alam , bukan penghambaan terhadap Allah. Karena itu sesungguhnya berkedudukan sebagai khalifah di bumi untuk menjadikan bumi maupun alam sebagai obyek dan wahana dalam bertauhid dan menegaskan dirinya. 23) Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan kepada kebaikan di akhirat, 24) di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia. 25) Sebab akhirat adalah masa masa depan eskatologis yang tak terelakan . 26) Kehidupan akhirat akan dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar fungsional dan beramal shaleh. 27) Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan . Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam , memakmurkan bumi dan menyelenggarakan kehidupan pada umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara tersebut dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap pekerjaan ,nafkah dan masa depan. Maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk kemakmuran bersama. Hidup bersama antar manusia berarti hidup dalam kerja sama , tolong menolong dan tenggang rasa. Salah satu hasil penting dari cipta, rasa, dan karsa manusia yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Manusia menciptakan itu untuk memudahkan dalam rangka memanfaatkan alam dan kemakmuran bumi atau memudahkan hubungan antar manusia . Dalam memanfaatkan alam diperlukan iptek, karena alam memiliki ukuran, aturan, dan hukum tertentu; karena alam ciptaan Allah buykanlah sepenuhnya siap pakai, melainkan memerlukan pemahaman terhadap alam dan ikhtiar untuk mendayagunakannya. Namun pada dasarnya ilmu pengetahuan bersumber dari Allah. Penguasaan dan pengembangannyadisandarkan pada pemahaman terhadap ayat-ayat Allah. Ayat-ayat tersebut berupa wahyu dan seluruh ciptaanNya. Untuk memahami dan mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah itulah manusia mengerahkan kesadaran moral, potensi kreatif berupa akal dan aktifitas intelektualnya. Di sini lalu diperlukan penalaran yang tinggi dan ijtihad yang utuh dan sistimatis terhadap ayat-ayat Allah, mengembangkan pemahaman tersebut menjadi iptek, menciptakan kebaruan iptek dalam koteks ke,manusiaan, maupun menentukan simpul-simpul penyelesaian terhadap masalah-masalah yang ditimbulkannya. Iptek meruipakan perwujudan fisik dari ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia, terutama digunakan untuk memudahkan kehidupan praktis. Penciptaan, pengembangan dan penguasaan atas iptek merupakan keniscayaan yang sulit dihindari. Jika manusia menginginkan kemudahan hidup, untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama bukan sebaliknya. Usaha untuk memanfaatkan iptek tersebut menuntut pengembangan semangat kebenaran, keadilan , kmanusiaan dan kedamaian. Semua hal tersebut dilaksanakan sepanjang hayat, seiring perjalanan hidup manusia dan keluasan iptek. Sehingga, berbarengan dengan keteguhan iman-tauhid, manusia dapat menempatkan diri pada derajat yang tinggi BAB III PENUTUP Itulah Nilai Dasar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang dipergunakan sebagai landasan teologis normatif, etis dan motivatif dalam pola pikir, pola sikap dan pola perilaku warga PMII, baik secara perorangan maupun bersama-sama dan kelembagaan. Rumusan tersebut harus selalu dikaji dan dipahami secara mendalam, dihayati secara utuh dan terpadu, dipegang secara teguh dan dilaksanakan secara bijaksana. Dengan Nilai Dasar Pergerakan tersebut dituju pribadi muslim yang berbudi luhur , berilmu, bertaqwa, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya, yaitu sosok ulul albab Indonesia yang sadar akan kedudukan dan peranannya sebagai khalifah Allah di bumi dalam jaman yang selalu berubah dan berkembang , beradab, manusiwi, adil penuh rahmat dan berket
Read more »»  

Senin, 07 Mei 2012

DEMOKRASI

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat" yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat).Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan.Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak. Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari. Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum semua orang dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja. Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk yang orang tuanya bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk itu. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis.Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan. Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal tersebut.
Read more »»