Rabu, 30 Mei 2012

Sekilas “Ahlussunnah Wal Jamaah”

Sekilas “Ahlussunnah Wal Jamaah” dari Embrio sampai ke-Manhajul Fikri Oleh : Nur Arqom Eka Fatria* A. Pendahuluan Dengan tidak memonopoli predikat sebagai satu-satunya golongan Ahlussunnah Wal Jamaah, organisasi PMII semenjak pertama berdirinya menegaskan diri sebagai penganut, pengemban dan pengembang islam ala ahlussunnah wal jamah. Dengan sekuat tenaga, PMII berusaha menempatkan diri sebagai pengamal setia dan mengajak seluruh kaum muslimin, terutama para warganya untuk menggolongkan diri pada Ahlussunnah Wal Jamaah. Pada hakikatnya, Ahlussunnah Wal Jamaah adalah ajaran islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rosulullah Saw. bersama para sahabatnya. Ketika Rosulullah Saw. Menerangkan bahwa umatnya akan terpecah-pecah menjadi 73 golongan, beliau menegaskan bahwa yang benar dan selamat dari sekian banyaknya golongan itu hanyalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Atas pertanyaan para sahabat, apakah Ahlussunnah Wal Jamaah itu, beliau merumuskan dengan sabdanya : “Apa yang Aku berada di atasnya, hari ini, bersama para sahabatku”. B. Firqah-firqah dalam islam Dalam sejarah islam telah tercatat adanya firqah-firqah di kalangan umat islam yang antara satu dan yang lainnya saling berbeda faham dan sulit dikompromikan. Hal ini, memang pernah diprediksikan oleh Rosulullah Saw. Beliau pernah menggambarkan akan timbulnya firqah-firqah di kalangan umat islam. Banyak hadits-hadits Rasulullah Saw yang menjelaskan tentang adanya perpecahan atau firqah-firqah ini. Dari hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : Sesudah Nabi Muhammad saw wafat, akan timbul kelompok umat islam yang saling berselisih faham yang jumlahnya tidak kurang dari 73 golongan. Di antara sekian banyaknya firqah (golongan) itu terdapat golongan yang disebut sebagai “Majusinya umat islam”, yaitu golongan yang mengingkari takdir. Bahkan, lebih tegas lagi dinyatakan bahwa dari sekian banyaknya golongan itu ada yang tidak lagi termasuk golongan umat islam, yaitu Murji’ah dan Qodariyah. di antara golongan yang banyak itu ada yang benar, yaitu golongan Ahlussunnah Wal Jamaah, yaitu golongan yang selalu berpegang kepada sunnah Nabi dan sunnah Khulafaur Rasyidin. Di dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan mufti syekh sayyid abdurrahman bin muhammad bin husen bin umar ba ‘Alawi, disebutkan bahwa ada tujuh firqah (golongan) yang tidak termasuk Ahlussunnah Wal Jamaah, sekaligus rincian dari 73 golongan tersebut, di antaranya seperti di dalam bagan di bawah ini : 1.Syi’ah yang berlebihan memuja sayyidina ali karramallahu wajhahu serta membenci para sahabat Rasullullah yang lain. Golongan ini terpecah menjadi : 22 Aliran 2.Khawarij Yang berlebihan membenci Sayyidina Ali K.W. bahkan di antara mereka ada yang mengkafirkannya. 20 Aliran 3.Mu’tazilah Yang berlebihan menggunakan akal (rasio) dan banyak meninggalkan dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadits).20 Aliran 4.Najariyah Yang mengingkari sifat-sifat tuhan. 3 Aliran 5.Jabariyah Yang berpendapat bahwa manusia itu majbur / tidak berdaya sama sekali.1 Aliran 6.Murji’ah Yang sangat murah memberikan pengertian atau batasan mengenai imam. Mereka memfatwakan bahwa kemaksiatan tidak akan memberikan mudlarrat terhadap seseorang yang telah menyatakan beriman.5 aliran 7.Musyabbihah Yang menyerupakan tuhan dengan manusia.1 Aliran Dengan memperhatikan ketujuh golongan tersebut di atas, beserta aliran-aliran sempalannya, maka jelaslah bahwa ada 72 aliran di luar golongan Ahlussunnah Wal Jamaah. Apabila ditambah dengan satu aliran lagi, yaitu faham Ahlussunnah Wal Jamaah, maka jumlah seluruh firqah dan aliran dalam islam sebanyak 73 golongan sebagaimana pernah diprediksikan dan digambarkan oleh Rasulullah Saw. Selain itu masih ada aliran-aliran baru yang masih dipertanyakan kislamannya, seperti Ahmadiyah, Salafiyah yang selanjutnya membaku menjadi gerakan wahabiyah. C. Sejarah dan Faktor-faktor Timbulnya Perpecahan (Firqah) Agama islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw merupakan satu kesatuan yang utuh dari tiga unsur, yaitu : iman, Islam, dan ihsan.ketiganya telah diterapkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw beserta para sahabatnya secara serempak, terpadu dan berkeseimbangan. Tidak ada yang lebih ditonjolkan dengan mengesampingkan yang lainnya. Tidak ada yang dipertentangkan, karena sesungguhnya agama islam itu bukan merupakan bahan pertentangan. Apabila terjadi hal yang kurang dapat dipahami, maka seluruh persoalan itu dikembakikan kepada rasullullah saw. Setelah beliau wafat, bibit perselisihan di antara umat islam mulai tampak. Mula-mula perselesihan para sahabat mengenai wafat tidaknya Rasulullah Saw, dan dimana beliau dimakamkan, dan siapa yang layak menggantikan beliau sebagai pemimpin umat islam. Namun, di antara ketiganya, yang berkembang menjadi perselisihan yang menyebabkan timbulnya firqah-firqah di kalangan umat islam adalah tentang “pengganti beliau sebagai pemimpin umat (khalifah)”. Pada perselisihan ini, ada tiga kelompok yang masing-masing mempunyai argumentasi sendiri, di antaranya Sahabat Anshar, Sahabat Muhajirin, dan kelompok sahabat yang mendukung Bani Hasyim (Ali bin abi Thalib). Semua ketiga-tiganya tersebut mengusung sahabat dari kalangan mereka masing-masing yang dipandang pantas untuk menggantikan Rasulullah Saw sebagai pemimpin umat islam pada waktu itu. Namun, perbedaan pendapat masalah khalifah ini dapat diatasi dengan tampilnya Sahabat Abu Bakar dan selanjutnya sahabat Umar bin Khattab menjadi khalifah pertama dan kedua dari khulafaur Rasyidin yang memang mendapat dukungan luas dari umat islam kala itu. Akan tetapi pada akhir pemerintahan sahabat Utsman bin Affan perselisihan masalah khalifah ini muncul kembali, sehingga menjadi pemicu timbulnya perpecahan dan firqah-firqah di kalangan islam. Hal ini, sebenarnya disebabkan munculnya seorang Yahudi yang lahir di Yaman bernama abdullah bin Saba’. Ia mengaku masuk islam tetapi dengan sengaja menghembuskan api perpecahan di antara sesama umat islam dengan mempropagandakan semangat anti Kalifah Utsman dengan ajarannya “al-Washilah” yang pada intinya mengajarkan bahwa kekhalifahan itu merupakan bagian dari syariat islam, artinya seorang khalifah itu harus berdasarkan atas wasiat Rasulullah Saw. Propaganda Abdullah bin saba’ ini tumbuh dengan subur di beberapa wilayah kekuasaan islam, seperti mesir, Kufah, dan Bashrah. Sejak itu muncullah aliran Syi’ah yang selanjutnya disusul aliran-aliran lain sebagai reaksi terhadap aliran syi’ah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa akar persoalan yang melatarbelakangi timbulnya firqah-firqah di kalangan umat islam adalah masalah-masalah politik (khalifah). Dari akar persoalan ini kemudian timbul usaha membentengi ajaran dengan rumusan-rumusan Syi’ah. Maka lahi9rlah firqah-firqah atau madzhab-madzhab di bidang fiqh dan aqidah bahkan juga tasawwuf. D. Sejarah dan Perkembangan ASWAJA Istilah Ahlussunnah Wal Jamaah kalau ditinjau secara etimologis maka jelaslah adanya ASWAJA tersebut sudah ada pada zaman Rasulullah Saw. Namun, ASWAJA sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum ASWAJA mengalami perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, artinya memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua,Proses konsolidasi awal dan mencapai pucaknya setelah imam al-Syafi’I (w. 205 H/820 M) berhasil menetapkan hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an dalam kontruksi pemikiran hukum islam. Ketiga, merupakan Kristalisasi teologi sunni, di satu pihak menolak adanya rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus di tempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yaitu ; abu hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M) di Mesopotamia, dan juga Abu mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di samarkandi, dan ahmad bin Ja’far al-Thahawi (w.331 H/944 M) di Mesir. Pada tahap kristalisasi inilah abu hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Di Indonesia, ASWAJA menyebar luas dengan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari lewat organisasinya yaitu NU (Nahdlatul Ulama) dengan konsep ASWAJA yang lebih konkrit, beliau menyatakan bahwa, islam Ahlussunnah Wal Jamaah adalah islam yang dalam bidang fiqih menganut satu dari empat madzhab, yaitu ; al-Syafi’I, al-Maliki, al-Hanafi dan al-Hanbali, dan dalam bidang teologi/ tauhid menganut satu dari dua madzhab, yaitu ; al-Asy’ari dan al-Maturidi, serta dalam bidang tasawuf menganut satu dari dua madzhab, yaitu ; al-ghazali dan al-Junaidi. Selain itu, para Ulama NU menganggap ASWAJA sebagai upaya pembakuan prinsip-prinsip Tawassut (moderat), Tasamuh (toleran) dan Tawazzun (seimbang) dan I’tidal (tegak lurus/ tidak condong kekiri-kirian atau kekanan-kanan-an). Di dalam tubuh PMII ASWAJA dijadikan sebagai Manhajul Fikri artinya ASWAJA bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Dan ternyata ASWAJA sebagai manhajul fikri di tubuh PMII ada banyak relevansinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun. Sebenarnya konsepsi ASWAJA sebagai Manhajul Fikri pertama kali dilontarkan oleh KH. Said Aqil siraj pada tahun 1991. walaupun hal tersebut mendapat tantangan yang berat dari kalangan sesepuh NU pada waktu itu, namun pada akhirnya, kian diterima masyarakat khususnya kalangan pemuda termasuk PMII. Bahkan di dalam tubuh PMII menjadi konsep dasar sekaligus sebagai prinsip organisasi. Adapun prinsip dasar dari ASWAJA sebagai manhajul fikri meliputi ; Tawassut (moderat), Tasamuh (toleran) dan Tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari Tawassut adalah selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat, namin tidak terjebak sehingga mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseombangan yang mendalam antara wahyau dan akal. Aktualisasi Tasamuh adalah dalam hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang dianjurkan hanya sebatas penyampaian saja yang ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari tuhan. Dan yang terakhir, aktualisasi Tawazzun. Penjabaran dari prinsip Tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maipun dalam kontekc politik sekalipun. E. Penutup Demikianlah sejarah dan perkembanga ASWAJA dari zaman ke zaman, namun tulisan ini masih belum sempurna dalam wacana ASWAJA, butuh diskusi lebih lanjut dan panjang. Lebih-lebih memahami isi ASWAJA sebagai ideologi ataupun Manhajul fikri, apalagi mengamalkannya. Mungkin hanya ini yang dapat kami sajikan, atas salah dan kekhilafannya mohon kritik dan sarannya demi membangun konstruk pemahaman ASWAJA yang sejati. “ Selamat Berdiskusi “. Referensi Achamd Shidiq, KH. Khittah Nahdliyah, Khalista, Surabaya, 2005. Abdul Rozak, Dr. Roshihon Anwar, Drs. Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2003 Makalah-makalah dan diskusi dua mingguan PMII, IPNU-IPPNU, GP. Anshor dan Lakspedam NU Lumajang. 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar