Kamis, 12 Juli 2012

Coretan di Buku Harian yang Menjadi Kenyataan

Coretan di Buku Harian yang Menjadi Kenyataan by mskrisnarini Februari 2000, pesawat Garuda mendarat di Bandar Udara Kingsford Smith, membawa saya dengan perasaan campur aduk seperti kebanyakan overseas students baru: senang, excited sekaligus sedih dan deg-degan. Penantian selama dua tahun untuk memulai hidup sendiri di kota Sydney pun berakhir—dari kelas 2 SMA saya sudah berangan-angan kepingin jadi mahasiswi University of New South Wales. Keyakinan yang tadinya melekat kuat di hati mulai goyah dengan pertanyaan-pertanyaan yang hinggap di benak,“Bisa gak ya hidup mandiri di negeri orang?” atau “Bisa gak ya biasakan diri dengan kehidupan orang sini?” Saat itu saya datang bersama bapak, kami menginap di Parade Lodge yang tidak jauh dari kampus. Selama enam hari bapak menemani saya mengurus persiapan memasuki kuliah dan mencari akomodasi, atau istilah yang beliau suka gunakan, “pondokan.” Ternyata, Denny, teman satu foundation studies di Jakarta, juga menginap di lodge yang sama dengan kami. Kami satu kampus, tetapi berbeda jurusan. Suatu pagi, bapak tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar dan berkata, “Denny sudah dapat pondokan, tuh! Katanya masih ada kamar lagi di sana. Lihat, yuk!” Kami pun bergegas pergi ke homestay milik orang Indonesia itu. Melihat kamar yang besar dan nyaman serta suasana rumah yang bersih dan tenang, kami memutuskan untuk mengambil kamar tersebut. Rasanya lega sekali berhasil menemukan tempat tinggal yang cocok, setelah beberapa hari sibuk mencari ke sana ke mari. Enam hari berlalu begitu cepat dan Minggu sore itu tiba menandai dimulainya kehidupan mandiri saya di Sydney. Di Central Station, saya menatap bapak melangkahkan kaki ke bus yang akan mengantarnya ke Melbourne untuk mengunjungi kakak sebelum bertolak kembali ke Jakarta. Dalam perjalanan pulang ke rumah yang baru, saya tidak bisa menepis rasa sedih yang menyerang. Hari yang mendung semakin membuat suasana hati menjadi sendu. Namun, untunglah saya dikelilingi oleh teman-teman yang menyenangkan. Walaupun sempat mengikuti foundation studies di Jakarta, ternyata kuliah sangatlah berbeda. Sebelumnya di foundation studies saya dituntut untuk bergerak lebih cepat dibandingkan di SMA. Saat kuliah, saya dituntut untuk bergerak berpuluh-puluh kali lipat lebih cepat lagi. Kami pernah diharuskan mengambil mata kuliah yang menuntut begitu banyak waktu di laboratorium (kalau laboratoriumnya buka 24 jam, mungkin kami sudah camping di sana!) sementara mata kuliah lainnya berebutan mencari perhatian kami. Tak terasa, empat tahun berjalan begitu cepat. Akhirnya saya bisa mencicipi seperti apa rasanya mengenakan toga! Saya ingat bagaimana ketika kuliah lagi lucu-lucunya (baca: assignment menumpuk, ujian di depan mata, kantuk yang tidak kunjung pergi akibat berkurangnya jam tidur, dan lain-lain), saya dan teman-teman menatap iri para (mantan) mahasiswa yang bergembira ria dan sibuk berfoto pada hari wisuda mereka. Giliran kami pun tiba untuk puas-puasin foto di kampus dengan aksesori karangan bunga dan teddy bear yang tidak mau kalah ikutan pakai toga juga. Graduation Wisuda tidak lengkap tanpa foto wajib di depan gedung jurusan. Namun, lagi-lagi hati saya diliputi perasaan campur aduk di hari keberangkatan saya ke Jakarta—antara senang karena sudah lulus dan sedih harus meninggalkan Sydney. Begitu banyak suka dan duka yang saya alami di Sydney. Walaupun saya pertama kali mengalami kecopetan, rumah kebobolan, dan perlakuan yang tidak senonoh dari orang yang tak dikenal di kota itu (mudah-mudahan bisa saya ceritakan lebih lanjut di tulisan berikutnya), bagi saya Sydney sudah seperti rumah kedua. Tidak akan terlupakan betapa lezatnya es krim rasa wasabi di Passion Flower di Darling Harbour dan pancake di The Rocks (ketahuan tukang makan, ya?), betapa menyenangkannya berpiknik di Pyrmont, betapa serunya mempersiapkan sebuah acara bersama teman-teman PPIA, serta betapa indahnya Circular Quay, Centennial Park, Hyde Park, dan begitu banyak tempat lainnya. Suatu hari saat sudah kembali ke Indonesia, saya menemukan tulisan di buku harian saat masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Saat itu saya sedang liburan di Sydney dan menulisnya di kamar hotel Holiday Inn Park di Oxford Street. Gue pengen deh tinggal di sini. Enak juga sih! Cuman dinginnya itu loh. Bikin orang males mandi. (Mohon maaf tata bahasa yang kacau balau. Maklum, ABG.) Saat itu sama sekali saya tidak mengira kalau tulisan saya akan menjadi kenyataan! Family Vacation 1996 Si ABG berlibur bersama keluarga. Kini, nyaris sepuluh tahun saya meninggalkan Sydney. Kalau ditanya kepingin tidak saya kembali ke sana, jawabannya sudah pasti ya! Apalagi masih banyak tempat yang belum sempat saya kunjungi. Namun, sampai saat ini kesempatan yang dinanti belum juga muncul. Mungkin saya harus menuliskan keinginan ini di buku harian lagi, ya? mskrisnarini | June 10, 2012 at 10:56 pm | Categories: Bebas, Sydney | URL: http://wp.me/p2jexE-Pg
Read more »»  
Potong Rambut (Murah) by Allira mahasiswi from Melbourne Melihat harga yang dipatok untuk jasa potong rambut di salon-salon di Australia membuatku sadar bahwa aku tidak bisa sering-sering menggonta-ganti gaya rambut selama kuliah dua tahun di Canberra. Untuk sekali potong rambut di salon, paling tidak kita harus merogoh kocek sebesar AUD$25an. Salon-salon tertentu kadang memberikan diskon khusus mahasiswa, namun potongan harganya tidak seberapa. Hasilnya juga seringkali biasa-biasa saja. Di Canberra ada juga hair stylist orang Indonesia yang bersedia memberikan jasa potong rambut di rumah seharga $10. Namun dengar-dengar dari teman, minimal harus ada dua pelanggan yang mau dipotong rambutnya sebelum sang hair stylist bersedia datang ke rumah. Wah, repot juga kalau mau potong rambut harus nyari teman barengannya dulu. Beruntunglah kalau memiliki teman yang bisa memotong rambut dan bersedia melakukannya gratis. Beberapa temanku ada juga yang berbakat untuk memotong rambutnya sendiri. Bagi yang berani ambil resiko, mungkin berminat mengikuti langkah-langkah berikut untuk potong rambut sendiri. Berhubung aku tidak berbakat untuk memotong rambut sendiri, dan juga tidak memiliki kenalan yang bisa dimintai tolong untuk memotong rambutku, maka kupilih untuk menjalankan dua strategi jitu. Pertama, sebelum pergi ke Australia, aku berkunjung ke salon dan meminta untuk dipotong rambut dengan model super pendek. Dengan demikian aku bisa membiarkan rambutku tumbuh panjang selama setahun di Australia, hingga tiba saatnya untuk pulang berlibur ke Indonesia menggunakan jatah reunion airfare ADS. Ketika kembali ke tanah air, barulah aku mencari hair stylist langgananku untuk dipotong rambut lagi. Banyak manfaatnya juga lho berambut pendek: hemat biaya untuk pemakaian shampo, hemat waktu untuk mengurus rambut, dan kepala terasa lebih ringan! Namun, ketika kembali lagi ke Australia untuk merampungkan studi, aku baru sadar ternyata iklim kering di sini membuat rambutku cepat bercabang. Oleh karenanya aku menjalankan strategi kedua, yakni memotong rambut di sekolah potong rambut! Canberra Institute of Technology (CIT) merupakan salah satu sekolah kejuruan yang membuka salon dengan mempekerjakan pelajar-pelajar magangnya. Mereka tidak hanya menawarkan jasa potong rambut, namun juga jasa manicure pedicure, spa, hingga body waxing. Harga yang ditawarkan juga jauh di bawah harga salon pada umumnya. Potong rambut perempuan misalnya $15, sedangkan untuk laki-laki $12. Berbeda dengan sekolah tata rambut yang pernah kudatangi sebelumnya di bilangan Jakarta Selatan, pelayanan di salon CIT ini terkesan lebih profesional dan membuat pelanggan nyaman tanpa merasa takut bahwa hasil tata rambutnya akan kacau. Aku ingat horornya pelayanan di sekolah tata rambut di Jakarta dulu, di mana sang pelajar magang dengan grogi terus-menerus berkeluh-kesah ketika memotong rambutku. Hati pun menjadi tidak tenteram dilayani si Mbak. Menariknya, di salon CIT, aku diajak berdiskusi oleh sang pelajar magang dan supervisor-nya tentang karakter rambutku, serta teknik-teknik apa yang bisa digunakan untuk menghasilkan potongan rambut sesuai pesanan. Keduanya menuliskan hasil observasi rambutku di sehelai kertas, kemudian menggambar beberapa sketsa profil wajahku dari berbagai sisi (depan, samping, belakang) serta rencana potongan rambut yang akan diaplikasikan. Asyik, jadi ikutan belajar nih! Jika berkunjung ke salon sekolah tata rambut, jangan lupa untuk meluangkan waktu setidaknya satu hingga dua jam untuk dilayani. Namanya juga sekolah tata rambut, ya prosesnya lebih lama dibandingkan salon biasa karena penata rambutnya masih belajar! Selain itu, memang tidak ada jaminan bahwa hasil potongan rambut kita akan bagus. Namun sesuai pengalamanku, bimbingan sang supervisor cukup ampuh untuk memastikan bahwa potongan rambut sang pelajar magang tidak akan mengecewakan. Bonusnya, aku ikut belajar tentang proses perencanaan tata rambut! Allira | May 31, 2012 at 2:51 pm | Categories: Bebas, Canberra, Kehidupan sosial | URL: http://wp.me/p2jexE-Oa
Read more »»  

Ayo Gowes di Melbourne!

Ayo Gowes di Melbourne!

by bibibobobabi
Pertama kali sampai di Melbourne, Australia, hal pertama yang langsung menarik pandangan saya adalah banyaknya sepeda wara-wiri di jalan raya, dengan tenang meluncur di dalam jalur khusus sepeda. Tentunya, saat itu saya melihat dari dalam trem, dengan masih asyik ber­-norak ria celingukan kanan-kiri. Yang ada di pikiran saya saat itu justru teman kuliah saya yang aktif di komunitas Bike2Work Jakarta. Pikir saya, “Wah, kalau Antha ada di sini, pasti dia senang sekali.”
Sebetulnya saya sudah mendengar tentang nyamannya bersepeda di Melbourne dan terlintas pikiran untuk mencoba bersepeda. Lalu niat itu sempat kandas begitu menyadari bahwa waktu tempuh dari rumah ke kampus adalah sekitar 20 menit dengan trem. Wah, rasanya saya tidak sanggup bersepeda sejauh itu, karena saya bukan orang yang senang berolahraga. Tetapi setelah saya melihat beberapa teman yang aktif bersepeda dengan rute serupa, saya mulai berpikir sepertinya patut dicoba. Apalagi tarif trem mahal sekali teman, karena pelajar internasional di negara bagian Victoria tidak mendapatkan potongan tarif pelajar. Sakit hati juga rasanya menghabiskan lebih dari AUD 100 sebulan hanya untuk transportasi.
Setelah tanya sana-sini, melihat-lihat situs gumtree, akhirnya saya menginspeksi beberapa pilihan sepeda yang sesuai dengan (ahem) tinggi badan saya, ditemani teman yang cukup mengerti tentang seluk beluk sepeda. Akhirnya dengan harga kurang dari AUD 200, saya dapatkan juga sepeda cantik berwarna merah bergigi 5 dengan keranjang di depan.
Hari-hari pertama mencoba bersepeda, saya belum berani mengayuh sampai ke kampus. Saya menggowes hanya untuk berbelanja keperluan rumah tangga yang lokasinya hanya setengah dari jarak ke kampus. Setelah beberapa lama, saya coba mengayuh sampai ke kampus. Hasilnya, alamak, walaupun dingin dan banyak angin, ternyata berkeringat sekali. Belum lagi melihat betapa cepatnya orang-orang di sini mengayuh sepeda mereka. Saya disalip ibu-ibu tua! Padahal rasanya saya sudah mengayuh sekuat tenaga. Wah malunyaaa…
Kata orang, semua itu bisa karena biasa. Untunglah, lama-lama jarak mulai tidak terasa berat, nafas mulai lebih mantap, dan yang paling penting, saya tidak lagi disalip banyak orang. Hanya kadang-kadang saja saya istirahatkan sepeda saya di rumah, kalau sedang membawa banyak barang atau sedang hujan deras. Nah, perasaan terbiasa ini ternyata membuat saya teledor. Kebetulan saya memiliki tekanan darah rendah, yang tidak pernah saya perhatikan kalau sedang kecapekan. Di satu waktu, saya berangkat ke kampus, tak lupa setelah sarapan terlebih dahulu untuk mengisi tenaga. Kira-kira dua per tiga perjalanan, tiba-tiba saya mulai merasa pusing berputar-putar dan pandangan berkunang-kunang. Waduh, gawat ini, pikir saya. Tetapi tanggung sekali, sedikit lagi sampai ke kampus. Jadilah saya paksakan, dengan harapan segera setelah sampai di kampus saya akan segera berbaring untuk memulihkan badan.
Apa daya, hanya tinggal sekitar 100 meter lagi, saya sudah tidak kuat lagi. Saya berhentikan sepeda saya dan menepi di pinggir jalan. Lemas sekali badan, untuk menyandarkan sepeda saja tidak sanggup. Jadilah saya berbaring di rerumputan pinggir jalan sambil memeluk sepeda saya. Pemandangan yang aneh sekali tentunya di antara lalu lalang kendaraan dan orang yang berjalan. Untunglah datang dua orang lokal, menanyakan keadaan saya. Dengan baik hati mereka menyandarkan sepeda saya dan memberikan minum. Mereka memaksa saya menelepon teman untuk menjemput. Setelah yakin bahwa teman saya akan datang, barulah mereka melanjutkan perjalanan bersepeda mereka sendiri, dengan sebelumnya memberikan segunung wejangan-wejangan tentang pentingnya menjaga kesehatan. Tak lama beberapa teman saya datang, ada yang membelikan obat, ada yang membawa sepeda saya pulang, ada pula yang menemani saya pulang naik tram. Ah, memang teman bagaikan keluarga jika sedang sendiri di negeri orang.
Moral of the story, teman, bersepeda itu memang sehat. Tetapi perhatikan juga kondisi badan. Saya waktu itu merasa jumawa, merasa sudah (sedikit) lebih atletis, merasa sudah seperti warga Melbourne yang asyik bersepeda ke mana-mana, merasa gembira melihat badan (sedikit) lebih kurus, merasa mampu menghemat banyak, lupa sudah dengan batas-batas kondisi fisik. Apalagi hampir semua dari kita-kita ini pasti datang dari kota yang tidak familiar dengan sepeda sebagai moda transportasi utama.
Jadi, mari bersepeda, kita manfaatkan fasilitas nyaman yang ada di negeri ini, tetapi jangan lupa untuk mencari tahu batas ketahanan fisik kita. Saya sendiri, dengan sangat menyesal, sedang mengistirahatkan sepeda menyambut datangnya musim dingin ini. Belum kuat rasanya menahan angin dingin bercampur keringat di punggung. Yang ada masuk angin terus, jenderal!
Walaupun begitu, semoga tulisan ini justru tidak mengurungkan niat bersepeda ya. Niatnya bukan untuk menakut-nakuti, justru dengan sharing kita semua diharapkan untuk tetap siaga setiap saat. Bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga dalam berlalu lintas. Bukan apa-apa, walaupun pejalan kaki dan pengendara sepeda diutamakan di sini, tetapi kadang-kadang ada saja pengemudi mobil yang suka lupa diri. Beberapa kali saya harus rem mendadak di bundaran, karena mobil di jalur kiri yang seharusnya memberi jalan, tetap saja nyelonong. Hati-hati juga kalau bersepeda melewati deretan mobil yang diparkir. Sudah banyak sekali kejadian, termasuk dialami teman saya, di mana sepeda terjungkal karena menabrak pintu mobil yang tiba-tiba dibuka.
Sebagai mahasiswi dengan anggaran terbatas di negeri seberang, kendaraan ini banyak sekali manfaat positifnya, jadi patut sekali untuk dicoba. Pastikan sepeda sudah dilengkapi dengan lampu depan, lampu belakang, dan helm. Jangan lupa periksa rantai sepeda, rem, dan ban setiap hari sebelum berangkat. Tetap semangat, tetap siaga, selamat bersepeda.
bibibobobabi | June 4, 2012 at 10:55 pm | Categories: Hobi, Kesehatan, Melbourne | URL: http://wp.me/p2jexE-On
Read more »»