Sabtu, 15 Desember 2012

Berpikir Tanpa Berzikir!


Berpikir Tanpa Berzikir!
Oleh: Nur Arqom Eka Fatria
Negaraku memiliki banyak orang pintar dan cerdas,sarjana jumlahnya jutaan, bahkan profesor hampir disetiap daerah ada. Tapi kenyataannya negaraku semakin tak karuan karena banyaknya orang pintar dan cerdas, mereka guru dan dosen tapi sangat sulit membentuk mental dan kepribadian siswa dan mahasiswanya menjadi manusia berhati mulia beretos kerja yang tinggi, kenapa?
sangat lama saya mencari jawaban itu semua dari sekolah menengah pertama, sekolah menengah umum sampai kuliah belum juga saya dapatkan. namun disaat semangatku untuk mencari sebuah jawaban menurun dan hampir menyerah, tiba-tiba anak lorong memberitahu bahwa tiap malam kita selalu diskusi bersama seseorang yang datangnya dimalam hari sekitar pukul 23.00 wib, kita bisa bertanya apa saja dan tentang apa saja orang itu berparas sangar namun setelah berbicara, ternyata dia memiliki ilmu yang luas dan hati yang bersih, saya panggil dia KaNda. akhirnya saya mendapatkan sebuah jawaban yang sangat singkat yaitu
“BERFIKIR TANPA BERZIKIR”.
“Orang pintar dan cerdas di dunia ini sangatlah banyak berhamburan disetiap negara tapi orang Jujur sudah langkah dan hampir punah”

Kediri, 15 Desember 2012
Read more »»  

Rabu, 12 Desember 2012

MAHASISWA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL


MAHASISWA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL[1]
Oleh : Hanis Ribut M.[2]

Berbicara tentang Mahasiswa, sebagian besar dari kita sudah mengetahui siapa yang disebut Mahasiswa. Semua orang mempunyai pengertian yang berbeda tentang Mahasiswa dan semua itu tidak ada yang salah (perspektif orang yang bicara).

A.    Pengertian Mahasiswa
Mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di Perguruan tinggi tertentu. Selanjutnya menurut Sarwono (1978) Mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di Perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun.
Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan Perguruan Tinggi. Mahasiswa juga merupakan calon intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu lapisan masyarakat yang sering kali syarat dengan berbagai predikat.
Mahasiswa menurut Knopfemacher (dalam Suwono, 1978) adalah merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan di harapkan menjadi calon-calon intelektual.
Dari pendapat di atas bisa dijelaskan bahwa mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena hubungannya dengan perguruan tinggi yang nantinya diharapkan menjadi calon-calon intelektual.
Namun jika kita mendefinisikan mahasiswa secara sederhana, maka kita akan menafikan peranannya yang nyata dalam perkembangan arus bangsa. Ketika kita mencoba menyederhanakan peran mahasiswa dengan mengambil definisi ‘setiap orang yang belajar di perguruan tinggi’, definisi itu akan mempersempit makna atau esensi dari mahasiswa itu sendiri. Mengingat sejarah panjang mahasiswa dalam peranannya membangun bangsa, seorang Indonesianis, Ben Anderson menyatakan bahwa, “sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya”.
Fenomena mahalnya biaya pendidikan, menuntut mahasiswa untuk menyelesaikan studi tepat waktu. Sehingga segala energi dikerahkan untuk mendapat gelar sarjana atau diploma sesegera mungkin. Tak ayal lagi tren study oriented mewabah di kalangan mahasiswa. Pertanyaan adalah, apakah cukup dengan bekal ilmu yang dipelajari dari bangku kuliah dan indeks prestasi yang tinggi untuk mengarungi kehidupan pasca wisuda? Ternyata tidak. Dunia kerja yang akan digeluti oleh alumnus perguruan tinggi tidak bisa diarungi dengan dua modal itu saja. Ada elemen yang harus dipertimbangkan, yakni kemampuan soft skill. Kemampuan ini terkait dengan kemampuan berkomunikasi dan bahasa, bekerja dalam satu team, serta kemampuan memimpin dan dipimpin. [3]

B.     Peran dan posisi mahasiswa

1.         Peran moral
Mahasiswa yang dalam kehidupanya tidak dapat memberikan contoh dan keteladanan yang baik berarti telah meninggalkan amanah dan tanggung jawab sebagai kaum terpelajar . Jika hari ini kegiatan mahasiswa berorientasi pada hedonisme (hura – hura dan kesenanggan) maka berarti telah berada persimpangan jalan . Jika mahasiswa hari ini lebih suka mengisi waktu luang mereka dengan agenda rutin pacaran tanpa tahu dan mau ambil tahu tentang perubahan di negeri ini maka mahasiswa semacam ini adalah potret “generasi yang hilang “yaitu generasi yang terlena dan lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemuda dan mahasiswa.

2.         Peran sosial
Mahasiswa harus menumbuhkan jiwa-jiwa sosial yang dalam atau dengan kata lain solidaritas sosial. Solidaritas yang tidak dibatasi oleh sekat sekat kelompok, namun solidaritas sosial yang universal secara menyeluruh serta dapat melepaskan keangkuhan dan kesombongan. Mahasiswa tidak bisa melihat penderitaan orang lain, tidak bisa melihat poenderitan rakyat, tidak bisa melihat adanya kaum tertindas dan di biarkan begitu saja. Mahasiswa dengan sifat kasih dan sayangnya turun dan memberikan bantuan baik moril maupun materil bagi siapa saja yang memerlukannya.

3.         Peran Akademik
Sesibuk apapun mahasiswa, turun kejalan, turun ke rakyat dengan aksi sosialnya, sebanyak apapun agenda aktivitasnya jangan sampai membuat mahasiswa itu lupa bahwa adalah insan akademik. Mahasiswa dengan segala aktivitasnya harus tetap menjaga kuliahnya. Setiap orang tua pasti ingin anaknya selesai kuliah dan menjadi orang yang berhasil. Maka sebagai seorang anak berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat mewujudkan keinginan itu, untuk mengukir masa depan yang cerah dan membahagiakan orang tua.

4.         Peran politik
Peran politik adalah peran yang paling berbahaya karena disini mahasiswa berfungsi sebagai presseur group ( group penekan ) bagi pemerintah yang zalim. Oleh karena itu pemerintah yang zalim merancang sedemikian rupa agar mahasiswa tidak mengambil peran yang satu ini. Pada masa ordebaru di mana daya kritis rakyat itu di pasung, siapa yang berbeda pemikiran dengan pemerintah langsung di cap sebagai makar dan kejahatan terhadap negara. Mahasiswa adalah kaum terpelajar dinamis yang penuh dengan kreativitas. Mahasiswa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rakyat. Sekarang mari kita pertanyakan pada diri kita yang memegang label Mahasiswa, sudah seberapa jauh kita mengambil peran dalam diri kita dan lingkungan.

Oleh karena itu Mahasiswa harus tetap menjaga idealismenya sebagai agen kontrol sosial (agent of social control) dan agen perubahan sosial (agent of social change). Sejak era pra kemerdekaan sampai era reformasi, mahasiswa mampu mengambil peran strategis bagi perubahan sosial, politik dan ekonomi.

C.    Tanggung jawab sosial mahasiswa
Dasar pikir perguruan tinggi dipandang sebagai institusi independen, merupakan hal yang menguatkan pemahaman kita bahwa didalamnya terisi oleh para intelektual bangsa dan calon-calon pemimpin masa depan yang mempunyai spesifikasi ilmu masing-masing, di STAIN Kediri ada mahasiswa pendidikan Agama islam, Tadris bahasa Inggris, Pendidikan bahasa Arab, Psikologi islam, Komunikasi islam, dan lain sebagainya. Tuntutan atau tanggung jawab ilmu pengetahuan yang didapatkan dari sebuah perguran tinggi membawa kita ke pertarungan sesungguhnya yaitu relaitas dalam bermasrakat nantinya.
Proses pembelajaran disekolah-sekolah maupun diperguruan tinggi ditujukan untuk membekali diri pelajar untuk dapat menjawab tuntutan yang ada dimasyarakat pada umumnya yakni melalui transformasi keilmuan dapat tercipta pemberdayaan masyarakat, partisipasi aktif dalam proses pembangunan dan peningkatan taraf hidup berbangsa dan bernegara.
Yang menjadi tugas sahabat-sahabati adalah mengamalkan ilmu yang sahabat-sahabati dapatkan dikampus nantinya untuk kepentingan dalam bermasyarakat. Baik dalam hal ikut andil dalam memberikan tawaran solusi dari sebuah masalah yang dihadapi, peningkatan SDM, ataupun yang lain.
Sebagai mahasiswa kita mempunyai peran double, pertama sebagai kaum terpelajar yang kedua sebagi anggota dari masyarakat. Oleh karena itu dengan sendirinya tanggung jawabnya juga menjadi lebih besar karena memainkan dua peran sekaligus. Mahasiswa mempunyai kekuatan dalam daya nalar dan keilmuannnya dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Namun, unsur penting dari ilmu dan daya pikir itu adalah entitas nilai moral yang harus dijunjung tinggi. Seperti yang disampaikan oleh KH. Idham Cholid, bahwa ilmu bukan untuk ilmu, tapi ilmu untuk diamalkan.
Perguruan tinggi adalah sebuah institusi yang tidak sekedar untuk kuliah, mencatat pelajaran, pulang dan tidur. Tapi harus dipahami bahwa perguruan tinggi adalah tempat untuk penggemblengan mahasiswa dalam melakukan kontempelasi dan penggambaran intelektual agar mempunyai idealisme dan komitmen perjuangan sekaligus tuntutan perubahan.
Penggagasan terhadap terminologi perguruan tinggi tidak akan bisa dilepaskan dari suplemen utama, yaitu mahasiswa. Stigma yang muncul dalam diskursus perguruan tinggi selama ini cenderung berpusat pada kehidupan mahasiswa. Hal ini sebagai konsekuensi logis agresitivitas mereka dalam merespon gejala sosial ketimbang kelompok lain dari sebuah sistem civitas akademika.
Akan tetapi fenomena yang berkembang menunjukkan bahwa derap modernisasi di Indonesia dengan pembangunan sebagai ideologinya telah memenjarakan mahasiswa dalam sekat institusionalisasi, transpolitisasi dan depolitisasi dalam kampus. Keberhasilan upaya dengan dukungan penerapan konsep NKK/BKK itu, pada sisi lain mahasiswa dikungkung dunia isolasi hingga tercerabut dari realitas sosial yang melingkupinya. Akibatnya, mahasiswa mengalami kegamangan atas dirinya maupun peran-peran kemasyrakatan yang semestinya diambil. Mahasiswapun tidak lagi memiliki kesadaran kritis dan bahkan sebaliknya bersikap apolitis.
Melihat realitas seperti itu maka perlu ditumbuhkan kesadaran kritis mahassiwa dalam merespon gejala sosial yang dihadapinya, karena di samping belum tersentuh kepentingan praktis, mahasiswa lebih relatif tercerahkan (well informed) dan potensi sebagai kelompok dinamis yang diharapkan mampu mempengaruhi atau menjadi penyuluh pada basis mayarakat baik dalam lingkup kecil maupun secara luas. Dengan tataran ideal seperti itu, semestinya mahasiswa dapat mengambil peran kemasyrakatan yang lebih bermakna bagi kehidupan kampus dan mayarakat.


[1] Materi ini disampaikan pada Mapaba ’12 Rayon Al-Khindy pada tanggal 14 October 2012 di DPC PKB Katang Kediri
[2] Pengurus Cabang PMII Kediri bidang pengembangan sumber daya kader periode 2011-2012
Read more »»  

Rabu, 28 November 2012

"Wajah Mahasiswa Kini"


Oleh : Nur Arqom E. F

Marcho (bukan nama sebenarnya), dia salah satu mahasiswa dari jutaan mahasiswa di negeri ini, sedang asik memutar-memutar rokok disela jari-jarinya sambil sesekali menghisapnya lalu menyemburkannya sehingga menjadi bulatan kepulan asap yang pastinya menambah jumlah polusi udara di Kediri. Marcho kala itu sedang menunggu jam mata kuliah kedua, celananya yang robek dengan kaos yang cukup kusam pula, ditambah anting dikuping membuat fulan lebih mirip seorang preman pasar ketimbang seorang mahasiswa yang menyandang predikat kaum intelektual.
Nah, yang ini namanya Salma (juga bukan nama asli). Mahasiswi yang satu ini adalah gadis yang cantik, dandanannya sangat modis dan seksi, membuat para kaum adam yang memandangnya berfantasi. Seperti biasa Salma dan kawan-kawan se-genk-nya sedang kumpul disalah satu kantin kampus di STAIN, trend kerudung, pakaian, dan asesoris yang sedang update saat ini serta tempat-tempat hangout favorit, biasa menjadi topik diskusi utama serta tema kongkow mereka. Padahal Salma dan kawan-kawannya itu mengambil jurusan Tarbiyah Bahasa Inggris, yang jelas tidak pernah berlaian antara mata kuliah dengan topik bahasan mereka setiap kali bertemu kawan-kawannya.
Lain halnya dengan Waluyo (nama samaran), mahasiswa rantau yang barangkali tampak terasing di kalangan mayoritas teman-temannya. Tapi ada yang tampak unik darinya, disaat teman-teman kuliahnya menghabiskan waktu di tempat-tempat hangout seperti kafe, PS-an, Waluyo justru membagi waktunya untuk mengajar anak-anak jalanan pada salah satu rumah singgah disela-sela rutinitasnya yang padat sebagai mahasiswa dan aktifis kampus.
Itulah realitas mahasiswa. Padahal, mahasiswa adalah kaum intelektual, generasi pembaharu, agen of change, sekaligus oposisi pemerintah yang paling independen. Begitulah kira-kira image yang melekat pada mereka yang menyandang predikat mahasiswa. Begitu hebat itu sehingga icon kampus, tempat mereka belajar, selalu diidentikan dengan komunitas perubahan. Karena memang catatan sejarah telah mengukir para mantan mahasiswa yang telah mengoptimalkan fungsi dan perannya dengan baik, tapi kini....?
Mari kita tengok bersama kondisi mahasiswa saat ini melalui ilustrasi diatas yang memang menjadi karakter dominan mahasiswa kita. Fulan dan Salma mewakili entitas kebanyakan mahasiwa saat ini, ditengah kurungan kemajuan tehnologi serta modernisasi peradaban yang menamakan diri sebagai globaliasasi, Figur-figur pemuda/mahasiswa dalam dunia tanpa batas ternyata lebih mudah membentuk pribadi-pribadi konsumtif pada segala hal. Mahasiswa sekarang seakan kehilangan identitasnya, sikap ramah dan rasa sosial yang tinggi yang pernah dimiliki pemuda bangsa ini yang notabene adalah bangsa timur mulai hilang dan berganti sikap apatis, individualistik dan tidak jarang anarkis.
  Keadaan mahasiswa yang seperti ini pastinya berimbas pada kualitas SDM para lulusanya. Bahkan kenyataanya kini, kebanyakan mereka yang telah menyandang status sarjana justru menjadi pengangguran, dan luntang-lantung tidak jelas. Mereka kurang memiliki life skill, akibatnya membuang-buang waktu untuk hal yang sia-sia ketika masa kuliah dahulu.
  Namun ditengah kebanyakan mahasiswa kini yang sangat suka menyia-nyiakan waktu, masih ada sebagian mahasiswa layaknya Waluyo seperti pada ilustrasi diatas, sadar akan fungsi danperannya sebagai mahasiswa dan manusia. Mau peduli dan berbagi ilmu yang dimilikinya kepada mereka yang kurang beruntung.
  Singkatnya, negeri ini sedang sakit...kawan! Lahirnya generasi baru dengan kualitas SDM yang baik adalah salah satu obat penawar rasa sakit tersebut, dan obat itu ada pada kita, para mahasiswa. Dengan demikian, maka sudah saatnya kalian, para mahasiswa kebanyakan seperti Fulan dan Salma melakukan introspeksi, melakukan introspeksi, membenahi sikapnya yang kurang pantas dilakukan oleh mereka selaku mahasiswa. Sebelum semuanya terlambat, sebelum segalannya berubah menjadi penyesalan.
Read more »»  

MADING TBI KURANG STRATEGIS


MADING TBI KURANG STRATEGIS
Sekilas jika kita memandang gedung TBI yang terletak dilantai 2 gedung F, maka tidak tampak adanya mading yang tersedia disana. Hal tersebut bukan dikarenakan jika prodi TBI tidak mempunyai  mading, namun dikarenakan posisi mading TBI yang terletak dilantai 1 gedung Ushuludin. Dan itu menjadikan keresahan tersendiri bagi mahasiswa khususnya dari prodi TBI yang ingin mempublikasikan kreasinya di mading.
Gedung G yang dulunya milik Tarbiyah dan sekarang ditempati oleh Ushuludin semenjak pindahnya prodi PAI dan PBA kegedung baru menjadi polemik anyar didalam penggunaan mading. Pasalnya 2 mading tersebut terletak berdekatan dan sama-sama terletak digedung Ushuludin. Saperti yang dikatakan oleh Waka 1 DEMA J Ushuludin bahwasanya 2 mading yang dulu memang milik tarbiyah sekarang salah satu dari mading tersebut yang terletak disebelah utara telah menjadi milik mahasiswa Ushuludin.  Ungkapan tersebut bisa dianggap dingin bagi mahasiswa ushuludin dan tidak menjadi permasalahan yang berarti tentang masalah mading, karena mereka beranggapan bahwa mading yang letaknya memang sudah dianggap strategis dengan gedung yang mereka tempati.
Dilain pihak, masalah ini menjadi perbincangan yang menjadi keresahan bagi mahasiswa TBI. Ungkapnya ketua DEMA PS TBI bahwasanya prodi TBI sudah lama mempunyai mading sendiri yaitu mading yang terletak disebelah selatan lantai 1 gedung G. Namun benar adanya jika keberadaan mading yang terletak dibawah tersebut tidak strategis dengan gedung TBI yang berada di lantai 2. Sehingga mahasiswa TBI yang ingin mempublikasinya karya-karya tulisanya  lewat mading merasa enggan, hal itu bisa dilihat dimading TBI yang sama sekali tidak nampak karya yang bertuliskan bahasa Inggris.
Tempat yang sempit,tak jadi alasan
sekilas memang dipandang benar sulitnya  penempatan mading TBI yang sampai sekarang terletak dibawah kemudian diletakkan dilantai dua, karena tidak adanya tempat yang dirasa cukup untuk penampatan mading tersebut disamping juga tempatnya yang sempit. Namun alasan seperti itu dianggap alasan yang tidak berlandasan, karena jika kita lihat digedung Syariah yang juga letaknya di lantai dua bisa menempatkan madingnya dilantai tersebut. Kenapa digedung TBI hal tersebut tidak bisa dilakukan? .
Untuk itu masalah penempatan mading yang dirasa tidak strategis ini sudah seharusnya mendapat penanganan lebih cepat, supaya tidak terus menerus terdengar adanya keresahan dalam  mahasiswa yang kaitanya dengan fasilitas kampus yang sebenarnya dapat membantu menunjang  pengembangan potensi dari para mahasiswa, sehingga tidak terjadi pemikiran yang terkesan hal tersebut sebagai pembunuh potensi mahasiswa.
Read more »»  

Selasa, 27 November 2012

ANTARA RASA DAN ASA


ANTARA RASA DAN ASA

Sejengkal rasa yang ada begitu sulit terlupa
Sejuta asa namun telah sirna
Akankah rasa akan mewujudkan asa?
ataukah naif bila asa menggugah rasa
Dulu dipuji kini tercaci dulu dipuja kini terhina
Kemana akan kubawa asa?
Kepada siapa akan kutambatkan rasa?
Semua sirna dan sia-sia

Nirwana…
Sakitku adalah bahagiamu dan bahagiaku adalah bersamamu…
Apa yang kau sebut nama itu adalah kumpulan huruf-huruf yang terpahat pada kertas putih
dan menancapkan gemanya hingga jauh ke lubuk hati.
Lalu nama tersebut membuat hati menjadi berdegup kencang.
atau nama yang kamu maksud itu 
kumpulan rasa yang kita identifikasikan
lalu saat ia tak perlu disebut karena menyatu dalam rasa.
yang mana kau sebut nama, 
antara cinta dan dirimu. 
Bukankah saat cinta menjelma maka namamu bukan lagi dirimu
tapi bermetamorfosa menjadi cinta, 
sehingga aku cukup memanggilmu cinta, 
dan tak perlu lagi memanggil namamu.

 By: Qori’
Read more »»  

Bingung bin Jenuh


Bingung bin Jenuh
Kenapa sangat membingungkan ya hidup ini, seperti mau ke pasar bingung mau membeli apa mau diniah mau belajar agama yang seperti apa lagi yang mau dipelajari mau kawin masih belum bisa mancari uang dan tidak punya calon istri.
            Seperti orang keluar dari kost bingung mau kemana keluar dari gang bingung mau kemana  mau ke kiri mau ke kanan ke kampus bingung mau ngapain juga ke kampus mau ke perpustakaan bingung buku apa yang akan dibaca mau masuk ke kelas bingung mau belajar apa mau pulang takut di marahin orang tua.
Mau mengajar seperti guru or dosen bingung haruskah memakai uang atau pakai hati kalau kalau kita mengajar, memakai hati nurani nanti gajinya sedikit buat rokok dan ngopi saja tidak cukup  mau jadi buruh bingung karena kerjanya sangatlah berat dan membutuhkan tulang yang doble mau memelihara sapi, kambing, dan ayam bingung modal dari mana yang akan aku dapatkan mau jadi pengangguran tambah bingung lagi karna akan banyak celotehan yang kurang enak didengar oleh telinga yang akan aku  dapatkan.
Oh Tuhanku  hambamu ini bingung bin jenuh hidup di Negara seperti ini, punya SDA yang melimpah ruah akan tetapi  yang menikmatinya bukanlah  bangsa dari kita melainkan  bangsa yang berasal dari luar negeri  dan orang-orang berdasi saja yang bisa menikmati kekayaan alam indonesia ini tapi kita sebagai rakyat kecil Cuma bisa menggigit jari dan menikmati rusaknya alam indah kita, tatanan alam yang bagus nan indah sekarang tinggal kenangan dan cerita rakyat saja, katanya kita bertanah air satu kenapa kita air saja masih kesulitan untuk mendapatkannya  dan harus membayar untuk memperolehnya dan katanya bertanah satu tanah indonesia, mana? Tanah yang luas banyak menggusur rakyat yang kecil yang mendiami di atasnya.
Kebudayaan seperti apa yang bisa diterima pemuda pemudi dengan hati yang lapang, kenapa negri kita membingungkan kebudayaan yang ada masih belum sepenuhnya dilestarikan dan diturunkan kepada anak cucu melainkan budaya asing yang kita ambil dengan sepenuh hati, pakain adat yang sopan seakan akan dimarginalkan pakain yang membuka aurat dan membentuk bagian baian yang sensitive yang kita terima dan bangga ketika kita menggunakannya. Mau  keluar malam mingguan sendirian tambah bingung karna iri melihat pemuda memudi yang ada dengan pasangannya dengan asyik  hang out or sedang jalan-jalan di keramaian kota ini mau meniru seperti mereka tambah bingung lagi karena  tuhan tidak membolehkan kita seperti itu trus kalau jalan sendirian di keramaian kota yang penuh dengan gemerlap cahaya serasa kurang afdol binti seru.
Makanan khas, kita sebagai penghuni negri ini seakan akan tiada peduli kelestarian makanan khas kita, entah kemana perginya makanan khas itu apa mungkin yang menghilang makanannya atau yang menjual ya yang menghilang akan tetapi makanan yang kurang sehat dan  banyak mudhorot bagi tubuh yang dipilih dan dilestarikan keberadaanya. Makan dengan  pasangan kemudian memilih warung yang menjual makanan khas negri ini seakan akan kurang waaaaaah bagi kalangan pemuda pemudi.
Trus kita sebagai penerus darah pejuang harus bagaimana? Mau melestarikan yang ada malah yang ada yang harus tiada mau membela agama dengan baik dan benar nanti takut dikatakan preman berkopyah mau membangkitkan darah juang pemuda pemudi tetapi pemuda pemudianya diam seribu kata seakan akan tidak terjadi apa-apa di negara kita dan tidak peduli keberadaan yang ada dan mengadakan yang tiada. Haruskah kita mengadukan problema yang seperti ini kepada soekarno untuk mendongkrak kembali semangat dan tujuan kita untuk membangun kembali bangsa ini.
Akan tetapi saya Mau belajar organisasi baik dan benar malah tambah membingungkan, bingung mengambil contoh pemimpin dan jajarannya yang seperti apa yang harus ditiru oleh pemuda pemudi khususnya di indonesia ini, ada contoh pemimpin yang baik tetapi  banyak jajaranya yang tidak sepakat terhadapnya trus pemimpin dan jajarannya yang seperti apa yang bisa berjalan den visi dan misi satu mensejahterakan bangsa dan membuat negara kita terbebas dari segalanya.
Kemudian, ditengok pula para politisi dan pejabat “bertengkar” bingung memilih yang benar. Kalau dulu orang berusaha membenarkan yang benar, menyalahkan yang salah dan meluruskan yang kurang benar, tetapi kini bertolak belakang dari dulu, membenarkan yang keliru mengelirukan yang benar dan membengkokkan yang sudah bengkok sehingga yang keliru mengharu biru, lalu hilang rasa percaya, muncul dan semakin merajalela rasa curiga.
Ea begitulah nasib orang-orang yang bingung bin jenuh dan semoga kita tersesat di jalan yang benar menurut Tuhan dan bangsa kita.... amin 
Read more »»  

Cinta Indonesia


Cinta Indonesia

Posted by M. Khoiruddin on Thursday, November 22, 2012
Illustrsi yang menggambarkan keadaan Indonesia saat ini, atau mungkin sudah lama keadaan ini berlansung dari zaman dahulu sebelum aku lahir tentunya.
Banyak kita ketahui tentang produk-produk yang dibuat di Indonesia. Mulai dari perlengkapan mandi, cuci, perabotan rumah tangga. Pabriknya berada pada tanah yang sama kita injak. tapi apakah kita bangga dengan semua itu. banyak pabrik sehingga para penganggur mengerjakan kerjaan dari pabrik-pabrik itu. Padahal tidak semua hasil pabrik atau produk yang di buat di Indonesia buatan asli orang indonesia. memang pekerjanya orang Indonesia tapi mmanajernya, bosnya, pimpinan paling atas adalah orang luar. Di situlah letak profit tertinggi didapat, pekerja bawah hanya mendapat sekian persen gaji. lainnya di ambil pemilik saham yang telah menanam banyak persen. Kita ketahuilah kita ini menjadi buruh di tanah air sendiri. mengapa kita tidak bisa seperti mereka ? permasalahannya bukan pada pemilik saham, tapi jiwa bangsa kita yang kurang dalam interprenernya, ketika ada satu atau dua yang berjiwa usaha pasti dari pemerintah membuat peraturan-peraturan yang mempersulit perizinannya. Hah negara komik, kata mereka begitupun diriku. Beginilah yang kurasakan sekarang, masih sedikit wawasan aku punya. Ini membuatku untuk lebih belajar tentang semua hal.
Read more »»  

Senin, 08 Oktober 2012

"ASWAJA" by: Nur Arqom Eka Fatria Ketua Rayon Al-Kindy Sunan Ampel Kediri

ASWAJA Target dan Tujuan : 1. Peserta memahami pengertian dasar Aswaja, konteks kesejarahan yang melatarbelakangi lahirnya Aswaja; 2. Peserta memahami perkembangan historis Aswaja dan tokoh-tokohnya, serta sejarah pergulatan (historisitas) ASWAJA. 3. Peserta dapat memahami Aswaja secara Signifikan dan komprehensif yang termanifestasikan dalam perjalanan sejarah global dan nasional; 4. Peserta dapat mengimplementasikan nilai-nilai Aswaja sebagai ruh perjuangan. 5. Peserta mampu menjadikan Aswaja sebagai dasar pijakan dalam melakukan perubahan yang dicita-citakan bersama. Pokok Bahasan : 1. Aswaja secara historisitas 2. Nilai-Nilai Aswaja Dalam Arus Sejarah; 3. Aswaja secara normativitas; 4. Aswaja dalam pemahaman PMII; 5. Nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja; tawassuth, tasamuh, tawazun dan ta’adul 6. Aswaja sebagai Manhajul fikr (metode berfikir) dan mannhaj al-taghayyur al-ijtima’i (pola perubahan sosial); 7. Implementasi Nilai-Nilai Aswaja dalam konteks gerakan. AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH 1. Aspek Historisitas Alur Perjalanan Aswaja Dalam GeoSosPol Global Aswaja dalam alur perjalanan sejarah merupakan faham alternatif kalau tidak dikatakan reksioner, sebab perjalanan sejarah dalam faham Aswaja merupakan jalan tengah terhadap faham- faham yang berkembang pada saat itu (faham jabariyah, faham Mu’tazilah, faham qodariyah dan lainnaya), perjalanannya juga tidak selamanya mulus di karenakan banyak sekali kendala dan hambatan serta tentangan dari faham- faham yang berkembang sebelumnya seperti disebutkan diatas, pernah juga Aswaja melakukan perselingkuhan dengan penguasa setempat demi mempertahankan eksistensinya, ini kemudian yang patut kita kritisi kenapa faham Aswaja diselewengkan pemaknaannya demi kekuasaan? Secara singkat, kita akan melihatnya dalam table berikut; NO Periode Momen Sejarah 1. Abu Bakar Embrio pepecahan umat islam dimulai Pasca rasulullah wafat, terbukti banyak umat islam yang keluar dari agama islam, untungnya hal ini mampu di selesaikan oleh Abu Bakar sehingga persatuan umat islam tetap terjaga Beliau juga mampu Menumpas Gerakan Nabi Palsu Dan Kaum Murtad. Dalam Hubungan Luar Negeri, Penyerangan Terhadap Basis-Basis Penting Romawi Dan Persia Dimulai. 2. Umar Bin Khattab Setelah Abu Bakar, benih perpecahan semakin menjadi terutama dari mereka bani Umayah yang tidak senang terhadap pemimpin baru mereka yaitu Umar Ibnu Khattab mereka mulai menghembuskan fitnah-fitnah terhadap Umar sampai kemudian mampu membuat rekayasa social, yang akhirnya terbunuhlah Umar oleh seorang majusi yaitu Abu lu’lu Al-Majusi– sebelum beliau wafat Romawi berhasil diusir Dari Tanah Arab- Terjadi Pengkotakan Antara Arab Dan Non-Arab – Wilayah Islam mencapai Cina dan Afrika Utara. 3. Utsman Bin Affan Al-qur’an dikondifikasi dalam mushaf Utsmani –oerpecahan mencapai puncaknya– pemerintah labil karena gejolak politik dan isu KKN – Armada maritim dibangun. 4. Ali Nin Abi Thalib Perang Jamal – pemberontakan Mua’wiyah – arbitrase Shiffin memecah belah umat menjadi tiga kelompok besar : Syi’ah, Khawarij, Murjiah – Ibnu Abbas dan Abdullah bin Umar mengkonsolidir gerakan awal Aswaja yang tidak memihak kepada pihak manapun dan lebih memusatkan perhatian pada penyelamat Al-qur’an dan sunnah – Akhir dari sistem Syura. 5. Bani Umayah Kembalinya negara Klan atau dinasti Islam mencapai Andalusia dan Asia tengah – madzhab-madzhab teologis bermunculan; terutama Qodariyah, Jabariyah, Murjiah moderat dan Mu’tazilah – Aswaja belum terkonsep secara baku (Abu Hanifah) 6. Bani Abbasiyah Mu’tazilah menjadi ideology Negara Mihnah dilancarkan terhadap beberapa Imam Aswaja, termasuk Ahmad bin Hambal – Fiqih dan Ushul Fiqih Aswaja disistematisasi oleh al-Syafi’ie, teologi oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi, Sufi oleh al Junaid dan Al-Ghazali – terjadi pertarungan antara doktrin aswaja dengan kalangan filosof dan tasawuf falsafi – Kemajuan ilmu pengetahuan sebagai wujud dari dialektika pemikiran – Perang Salib dimulai – Kehancuran Baghdad oleh Mongol menjadi awal penyebarannya umat beraliran Aswaja sampai ke wilayah Nusantara. 7. Umayah Andalusia Aswaja menjadi madzhab dominan – kemajuan ilmu pengetahuan menjadi awal kebangkitan Eropa – Aswaja berdialektika dengan fisafat dalam pemikiran Ibnu Rusyd dan Ibnu ‘Arabi. 8. Turki Utsmani Aswaja menjadi ideology negara dan sudah dianggap mapan – kesinambungan pemikiran hanya terbatas pada syarah dan hasyiyah – Romawi berhasil diruntuhkan – perang salib berakhir dengan kemenangan umat Islam – kekuatan Syi’ah (safawi) berhasil dilumpuhkan – Mughal berdiri kokoh di India. 9. Kolonialisme Masuknya paham sekularisme – pusat peradaban mulai berpindah ke Eropa – Aswaja menjadi basis perlawanan terhadap imperialisme – kekuatan kekuatan umat Islam kembali terkonosolidir. 10. Akhir Turki Utsmani Lahirnya turki muda yang membawea misi restrukturissi dan reinterpretasi Aswaja – gerakan Wahabi lahir di Arabia-kekuatan Syi’ah terkonsolidir di Afrika urata – Gagasan pan-Islamisme dicetuskan oleh al-Afghani – Abduh memperkenalkan neo-Mu’tazilah – al-Ikhwan al-Muslimun muncul di Mesir sebagai perlawanan terhadap Barat – Berakhirnya sistem kekhalifahan dan digantikan oleh nasionalisme (nation-state) – Aswaja tidak lagi menjadi ideologi Negara. 11. Pasca PD II Aswaja sebagai madzhab keislaman paling dominant – diikuti usaha-usaha kontekstualisasi aswaja di negara-negara Muslim-lahirnya negara Muslim Pakistan yang berhaluan aswaja – kekuatan Syi’ah menguasai Iran – lahirnya OKI namun hanya bersifat simbolik belaka. Alur perjalanan Aswaja Dalam Sejarah Nusantara (Ke-Indonesia-an) Perjalanan panjang sejarah Aswaja konteks Indonesia, berawal dari kedatangan islam. Ada kesinambungan antara alur GeoSosPol Aswaja dengan sejarah Islam nusantara. Kedatangan Islam di Indonesia sangat tergantung kepada dua hal: pertama, Kesultanan Pasai di Aceh yang berdiri sekitar abad ke-13, dan kedua, Wali Sanga di Jawa yang mulai hadir pada akhir abad ke-15 bersamaan dengan runtuhnya Majapahit. Namun, dalam perkembangan Islam selanjutnya, yang lebih berpengaruh terhadap perkembangan islam Indonesia adalah Wali Sanga yang dakwah Islamnya tidak hanya terbatas di wilayah Jawa saja, tetapi menggurita ke seluruh pelosok nusantara. Yang penting untuk dicatat pula, semua sejarawan sepakat bahwa diamping faktor yang lain, Wali Sanga-lah yang dengan cukup brilian mengkontekskan Aswaja dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, sehingga lahirlah Aswaja yang khas Indonesia, NU kemudian PMII. NO Periode Momen Sejarah 1. Islam Pra Wali Songo Masyarakat muslim bercorak maritim-pedagang berbasis di wilayah pesisir – mendapat hak istimewa dari kerajaan-kerajaan Hindu yang pengaruhnya semakin kecil – fleksibilitas politik – dakwh dilancarkan kepada para elit penguasa setempat. 2. Wali Songo Konsolidasi kekuatan pedagan muslim membentuk konsorsium bersama membidani berdirinya kerajaan Demak dengan egalitarianisme Aswaja sebagai dasar Negara – sistem kasta secara bertahap dihapus – Islamisasi dengan media kebudayaan – Tercipta asimilasi dan pembauran Islam dengan budaya lokal bercorak Hindu-Budah – Usaha mengusir Portugis gagal. 3. Pasca Wali Songo – Kolonialisme Eropa Penyatuan jawa oleh Trenggana menyebabkan dikuasainya jalur laut Nusantara oleh Portugis – kekuatan Islam masuk ke padalaman – kerajaan Mataram melahirkan corak baru Islam Nusantara yang bersifat agraris-sinkretik – Mulai terbentuknya struktur masyarakat feodal yang berkelindan dengan struktur kolonial mengembalikan struktur kasta dengan gaya baru – kekuatan tradisionalis terpecah belah, banyak pesanten yang menjadi miniatur kerajaan feudal – kekuatan orisinil aswaja hadir dalam bentuk perlawanana agama rakyat dan perjuangan menentang penjajahan – Arus Pembaruan Islam muncul di minangkabau melalui kaum Padri – Politik etis melahirkan kalangan terpelajar pribumi – Ide nasionalisme mengemuka – kekuatan islam mulai terkonsolidir dalam Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah berdiri sebagai basis muslim modernis. 4. Kelahiran NU Komite Hijaz sebagai embrio, kekuatan modernis dengan paham wahabinya sebagai motivasi, SI tidak lagi punya pengaruh besar, jaringan ulama’ tradisional dikonsolidir dengan semangat meluruskan tuduhan tahayyul, bid’ah, dan khurafat, Qanu Asasi disusun sebagai landasan organisasi NU, aswaja (tradisi) sebagai basis perlawanan terhadap kolonialisme, fatwa jihad mewarnai revolusi kemerdekaan. 5. NU Pasca Kemerdekaan NU menjadi partai politik, masuk dalam aliansi Nasakom – PMII lahir sebagai underbow di wilayah mahasiswa – Berada di barisan terdepan pemberantasan PKI – Ikut membidani berdirinya orde baru – Ditelikung GOLKAR dan TNI pada pemilu 1971 – Deklarasi Munarjati menandai independennya PMII – NU bergabung dengan PPP pada pemilu 1977 – kekecewaan akan politik menumbuhkan kesadaran akan penyimpangan terhadap Qanun Asasi dan perlunya Khittah. 6. NU Pasca Khittah Kembali menjadi organisasi kemasyaratan – menerima Pancasila sebagai asas tunggal – Menjadi kekuatan utama civil society di Indonesia – posisi vis a vis Negara – Bergabung dalam aliansi nasional memulai reformasi menjatuhkan rezim orde baru. 7. NU Pasca Reformasi Berdirinya PKB sebagai wadah politik nahdliyyin – Naiknya Gus Dur sebagai presiden – NU mengalami kegamangan orientasi – kekuatan civil society mulai goyah – PMII memulai tahap baru interdependensi – (pasca Gus Dur sampai saat ini, kekuatan tradisionalis menjadi terkotak-kotak oleh kepentingan politis). 2. Aspek Normativitas Aswaja Dalam Pemahaman PMII Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) adalah madzhab keislaman yang menjadi dasar jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagaimana dirumuskan oleh Hadlratus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi yaitu: dalam ilmu aqidah/teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idres Al-Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tashawuf akhlaq mengikuti salah satu dua Imam: Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pemahaman seperti ini tidak lagi relevan untuk dijadikan sebagai gerak PMII. Sebab, pemahaman demikian cenderung menjadikan Aswaja sebagai sesuau yang beku (rigid) dan tidak bisa diutak-atik lagi. Pemakanaannya hanya dibatasi pada produk pemikiran saja. Padahal produk pemikiran, secanggih apapun, selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks) yang menghasilkannya. Padahal untuk menjadi dasar sebuah pergerakan, Aswaja harus senaniasa fleksibel dan terbuka untuk ditafsir ulang yang kemudian disesuaikan dengan konteks saat ini dan yang akan datang. Inilah yang dinamakan Aswaja sebagai ideology terbuka. Berbeda dengan NU, PMII memaknai Aswaja sebagai manhajul fikr yaitu metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan social yang meliputi masyarakat muslim waktu itu (Said Aqil Siradj, 1996). Dari manhajul fikr inilah lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik dibidang aqidah, syari’ah, maupun akhlaq/tasawuf, yang walaupun beraneka ragam tetap brada dalam satu ruh. PMII juga memaknai Aswaja sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’i yaitu pola perubahan social-kemasyarakatan yang sesuai dengan nafas perjuangan rasulullah dan para sahabatnya. Inti yang menjadi ruh dari Aswaja baik sebagai manhaful fikr mapun manhaj al-taghayyur al-ijtima’i adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah : ma ana ‘alaihi waashabi (segala sesuatu yang akan datang dari rasul dan para sahabatnya). Yang kemudian diwujudkan dalam empat nilai: tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan). Maka untuk memahami Aswaja secara Signifikan dan komprehensif, kita harus mencari akar-akar histories yang menunjukkan persinggungan antara nilai-nilai Aswaja dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Kita harus merelasikan pemahaman kita terhadap keempat nilai (normatifitas) Aswaja dengan perjalanan sejarahnya (historisitas). Dari pemahaman yang komprehensif terhadap dua komponen tersebut kita akan menemukan titik temunya pada Nilai-Nilai Dasar PMII. Nilai-Nilai Aswaja Dalam Arus Sejarah A. Tawassuth Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat, independen (tidak memihak ke kiri dan ke kanan) tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul ujur awsthuha (paling baiknya sesuatu adalah pertengahannya). Tawassuth merupakan nilai yang mengatur pola pikir, yaitu bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita. Dalam rentang sejarah, kita menemukan bahwa nilai ini mewujud dalam pemikiran para imam yang telah disebut diatas. Di bidang aqidah atau teologi, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi hadir sebagai dua pemikir yang tawassuth. Karena mereka mampu menkomparasikan dua pemikiran (Mu’tazilah yang terlalu rasional sampai mendudukan akal diatas segalanya termasuk Al-Qur’an dan As-sunnah dan jabariyah yang sama sekali tidak menempatkan akal sebagai salah satu metode untuk berfikir dan mencari kebenaran ). Disinilah nilai tawassut yang dikembangkan oleh keduanya (Al-Asy’ari dan Al-Maturudi) Di bidang fiqih atau hukum Islam kita juga mendapatkan Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal sebagai para pemikir yang konsep fiqih Islamnya di dasarkan kepada Al-quran danAs-sunnah, tanpa kemudian menafikan akal sebagai metode untuk berfikir. Di bidang tasawuf Al-Junaid dan Al-Ghazali tampil dengan pemikiran tasawuf yang berusaha mencari sinergitas antara kelompok falsafi dengan konservatif. Dia berhasil melahirkan konsep tasawuf sunni yang menjadikan taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju haqiqah. Dengan demikian, dia berhasil mengangkat citra tasawuf yang waktu itu dianggap sebagai ajaran sesat sebab terlalu syari’ah, seperti ajaran sufi Al-Hallaj. Apa yang dilakukan oleh al-Junaid dan Al-Ghazali sama dengan Wali Sanga pada masa awal Islam di Jawa ketika menolak ajaran tasawuf Syekh siti Jenar. B. Tasamuh Pengertian tasamuh adalah toleran, tepa selira. Sebuah pola pemikiran dan sikap yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, yang saling melengkapi bukan membawa kepada perpecahan. Kita bisa menengok sejarah, bagaimana sikap para imam yang telah disebutkan di atas terhadap para penentang dan ulama-ulama lain yang berbeda pendapat dengan mereka, selama ajaran mereka tidak mengancam eksistensi agama islam. Lihat pula bagaimana sikap Wali Sanga terhadap umat beragama lain (Hindu-Budha) yang sudah lebih dulu ada di Jawa. yang trpenting bagi mereka adalah menciptakan stabilitas masyarakat yang dipenuhi oleh kerukunan, sikap saling menghargai, dan hormat-menghormati. Di wilayah kebudayaan, kita bisa menengok bagaimana Wali Sanga mampu menyikapi perbedaan ras, suku, adapt istiadat, dan bahasa sebagai elandinamis bagi perubahan masyarakat kea rah yang lebih baik. Perbedaan itu berhasil direkatkan oleh sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, keanekaragaman saling melengkapi. Unity in diversity. C. Tawazun Tawazun berarti keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi baik yang bersifat antar individu, antar struktur social, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah, tidak menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain. Tetapi, masing-msing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa menggaggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah teciptanya kedinamisan hidup. Dalam ranah social yang ditekankan adalah egalitarianisme (persamaan derajat) seluruh umat manusia. tidak ada yang merasa lebih dari yang, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. Tidak ada dominasi dan ekspoitasi seseorang kepada orang lain, termasuk laki-laki terhadap perempuan. Maka kita lihat dalam sejarah, Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin dengan tegas menolak dan berusaha menghapus perbudakan. Begitu juga, sikap NU yang dengan egas menentang penjajahan dan kolonialisme terhadap bangsa Indonesia. Dalam wialayah politik, tawazun meniscayakan keseimbangan antara posisi Negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang, menutup kran demokrasi, dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi segala peraturan yang ditujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Kita lihat bagaimana sikap Ahmad bin Hanbal kepada Al-Makmun yang menindas para ulama yang menolah doktrin mu’tazilah. Dia membangun basis perlawanan kerakyatan untuk menolak setiap bentuk pemaksaan Negara, walaupun dia dan para ulama yang lain harus menahan penderitaan dan hukuman yang menyakitkan. Namun kita juga bisa melihat contoh lain sikap seorang al-Ghazali terhadap pemimpin yang adil bernama Nizam al-Muluk. Dia ikut berperan aktif dalam mendukung setiap program pemerintahan, memberi masukan atau kritik, dan hubungan yang mesra antara ulama’ dan umara’ pun tercipta. Kita juga bisa membandingkannya denga posisi Wali Sanga sebagai penasehat, pengawas dan pengontrol kerajaan Demak. Dalam wilayah ekonomi, tawazun meniscayakan pembangunan system eknomi yang seimbang antara posisi Negara, pasar dan masuarakat. Kita melihat bagaimana Umar bin abdul azis mampu membangun ekonomi Islam yang kokoh dengan menyeimbngkan fungsi Negara (baitul mal) sebagai pengatur sirkulasi keuangan dan pendistribusian zakat;Mewajibkan setiap pengusaha, pedagang, dan pendistriusi jsa (pasar) untuk mengeuakan zakat sebagai control terhadap kekayaan individu dan melarang setiap bentuk monopoli; Serta menyalurkan zakat kepada rakyat yang tidak mampu sebagai modal usaha dan investasi. Sehingga dalam waktu tiga tahun saja telah terbangun struktur ekonomi yang stabil dan kesejahteraan hidup terjamin. Dalam wilayah ekologi, tawazun meniscayakan pemanfaatan alam yang tidak eksploiratif (israf) dan merusak lingkungan. Banyak contoh dalam sejarah yang menunjukkan sikap ramah terhadap lingkungan. Larang menebang pohon waktu berperang misalkan, atau anjuran untuk reboisasi (penghijauan) hutan. Begitu juga ketika para intelekuta muslim semacam al-khawarizmi, al-Biruni, dan yang lain menjadikan alam sebagai sumber inspirasi dan lahan peneitian ilmu pengetahuan. D Ta’adul Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, yang merupakan pola integrasil dari tawassuth, tasamuh, dan tawazun. Keadilan inilah yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan social. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Begitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung. IMPLEMENTASI NILAI-NILAI ASWAJA DALAM KONTEKS GERAKAN Aswaja sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’I bisa kita tarik dari nilai-nilai perubahan yang diusung oleh Nabi Muhammad dan para sahabat ketika merevolusi masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang tercerahkan oleh nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan universal. Ada dua hal pokok yang menjadi landasan perubahan itu :  Basis Nilai, yaitu nilai kebenaran qurani dan sunnah nabi yang diiemplementasikan secara konsekwen dan penuh komitmen.  Basis Realitas, yaitu keberpihakan kepada kaum tertindas dan masyarakat lapisan bawah. Dua basis ini terus menjadi nafas perubahan yang diusung oleh umat Islam yang konsisten dengan Aswaja, termasuk di dalamnya NU kemudian PMII. Konsistensi di sini hadir dalam bentuk élan dinamis gerakan yang selalu terbuka untuk dikritik dan dikonstruk ulang, sesuai dengan perkembangan zaman dan lokalitas. Dia hadir tidak dengan klaim kebenaran tunggal, tetapi selalu berdialektika dengan realitas, jauh dari sikap eksklusif dan fanatic. Maka empat nilai yang dikandung oleh aswaja, untuk konteks sekarang harus kita tafsirkan ulang sesuai dengan perkembangan teori-teori social dan ideology-ideologi dunia. Tawassuth sebagai pola pikir, harus kia maknai sebagai pola yang seimbang antara kapitalisme-liberal di satu sisi dan nalar sosialisme di sisi lain. Kita harus memiliki cara pandang yang otentik tentang realitas yang selalu berinteraksi dalam tradisi. Pemaknaanya ada dalam paradigma yang dipakai oleh PMII yaitu paradigma kritis transformative. Tasamuh sebagai pola sikap harus kita maknai sebagai bersikap toleran dan terbuka saling menghormati baik antar sesama maupun antar umat beragama. Dari manapun asalnya apapun agamanya dimanapun kedudukannya asal mempunyai tujuan yang sama yaitu menjungjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan membebaskan rakyat dari segala bentuk penindasan, kita harus saling bahu-membahu dalam merealisasikan tujuan mulia tersebut tanpa memandang status mereka. PMII harus bersikap inklusif terhadap sesama pencari kebenaran dan membuang semua bentuk primordialisme Eksklusivisme dan fanatisme keagamaan. Tawazun sebagai pola relasi dimaknai sebagai usaha mewujudkan egalitarianisme dalam ranah social, tidak ada lagi kesenjangan berlebihan antar sesama manusia, antara laki-laki dan perempuan, antara kelas atas dan bawah. Di wilayah ekonomi PMII harus melahirkan model gerakan yang mampu menyeimbangkan posisi Negara, pasar dan masyarakat. Berbeda dengan kapitalisme yang memusatkan orientasi ekonomi di tangan pasar sehingga fungsi negara hanya sebagai obligator belaka dan masyarakat ibarat robot yang harus selalu menuruti kehendak pasar, atau sosialisme yang menjadikan Negara sebagai kekuatan tertinggi yang mengontrol semua kegiatan ekonomi, sehingga tidak ada kebebasan bagi pasar dan masyarakat untuk mengembangkan potensi ekonomin. Di wilayah politik, isu yang diusung adalah mengembalikan posisi seimbang antara rakyat dan Negara. PMII tidak menolak kehadiran Negara, karena Negara melalui pemerintahannya merupakan implementasi dari kehendak rakyat. Maka yang perlu dikembalikan adalah fungsi Negara sebagai pelayan dan pelaksana setiap kehendak dan kepentingan rakyat. Di bidang ekologi, PMII harus menolak setiap bentuk eksploitasi alam hanya semata-mata demi memenuhi kebutuhan manusia yang berlebiahn. Maka, kita harus menolak nalar positovisik yang diusung oleh neo-liberalisme yang menghalalkan eksploitasi berlebihan terhadap alam demi memenuhi kebutuhan bahan mentah, juga setiap bentuk pencemaran lingkungan yang justru dianggap sebagai indikasi kemajuan teknologi dan percepatan produksi. Ta’adul sebagai pola integral mengandaikan usaha PMII bersama seluruh komponen masyarakat, baik nasional maupun global, untuk mencapai keadilan bagi seluruh umat manusia. keadilan dalam berpikir, bersikap dan relasi. Keadilan dalam ranah ekonomi, politik, social, hukum, budaya, pendidikan, dan seluruh ranah kehidupan. Dan perjuangan menuju keadilan universal itu harus dilaksanakan melalui usaha sungguh-sungguh, bukan sekadar menunggu anugeah dan pemberian turun dari langit.
Read more »»  

Kamis, 12 Juli 2012

Coretan di Buku Harian yang Menjadi Kenyataan

Coretan di Buku Harian yang Menjadi Kenyataan by mskrisnarini Februari 2000, pesawat Garuda mendarat di Bandar Udara Kingsford Smith, membawa saya dengan perasaan campur aduk seperti kebanyakan overseas students baru: senang, excited sekaligus sedih dan deg-degan. Penantian selama dua tahun untuk memulai hidup sendiri di kota Sydney pun berakhir—dari kelas 2 SMA saya sudah berangan-angan kepingin jadi mahasiswi University of New South Wales. Keyakinan yang tadinya melekat kuat di hati mulai goyah dengan pertanyaan-pertanyaan yang hinggap di benak,“Bisa gak ya hidup mandiri di negeri orang?” atau “Bisa gak ya biasakan diri dengan kehidupan orang sini?” Saat itu saya datang bersama bapak, kami menginap di Parade Lodge yang tidak jauh dari kampus. Selama enam hari bapak menemani saya mengurus persiapan memasuki kuliah dan mencari akomodasi, atau istilah yang beliau suka gunakan, “pondokan.” Ternyata, Denny, teman satu foundation studies di Jakarta, juga menginap di lodge yang sama dengan kami. Kami satu kampus, tetapi berbeda jurusan. Suatu pagi, bapak tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar dan berkata, “Denny sudah dapat pondokan, tuh! Katanya masih ada kamar lagi di sana. Lihat, yuk!” Kami pun bergegas pergi ke homestay milik orang Indonesia itu. Melihat kamar yang besar dan nyaman serta suasana rumah yang bersih dan tenang, kami memutuskan untuk mengambil kamar tersebut. Rasanya lega sekali berhasil menemukan tempat tinggal yang cocok, setelah beberapa hari sibuk mencari ke sana ke mari. Enam hari berlalu begitu cepat dan Minggu sore itu tiba menandai dimulainya kehidupan mandiri saya di Sydney. Di Central Station, saya menatap bapak melangkahkan kaki ke bus yang akan mengantarnya ke Melbourne untuk mengunjungi kakak sebelum bertolak kembali ke Jakarta. Dalam perjalanan pulang ke rumah yang baru, saya tidak bisa menepis rasa sedih yang menyerang. Hari yang mendung semakin membuat suasana hati menjadi sendu. Namun, untunglah saya dikelilingi oleh teman-teman yang menyenangkan. Walaupun sempat mengikuti foundation studies di Jakarta, ternyata kuliah sangatlah berbeda. Sebelumnya di foundation studies saya dituntut untuk bergerak lebih cepat dibandingkan di SMA. Saat kuliah, saya dituntut untuk bergerak berpuluh-puluh kali lipat lebih cepat lagi. Kami pernah diharuskan mengambil mata kuliah yang menuntut begitu banyak waktu di laboratorium (kalau laboratoriumnya buka 24 jam, mungkin kami sudah camping di sana!) sementara mata kuliah lainnya berebutan mencari perhatian kami. Tak terasa, empat tahun berjalan begitu cepat. Akhirnya saya bisa mencicipi seperti apa rasanya mengenakan toga! Saya ingat bagaimana ketika kuliah lagi lucu-lucunya (baca: assignment menumpuk, ujian di depan mata, kantuk yang tidak kunjung pergi akibat berkurangnya jam tidur, dan lain-lain), saya dan teman-teman menatap iri para (mantan) mahasiswa yang bergembira ria dan sibuk berfoto pada hari wisuda mereka. Giliran kami pun tiba untuk puas-puasin foto di kampus dengan aksesori karangan bunga dan teddy bear yang tidak mau kalah ikutan pakai toga juga. Graduation Wisuda tidak lengkap tanpa foto wajib di depan gedung jurusan. Namun, lagi-lagi hati saya diliputi perasaan campur aduk di hari keberangkatan saya ke Jakarta—antara senang karena sudah lulus dan sedih harus meninggalkan Sydney. Begitu banyak suka dan duka yang saya alami di Sydney. Walaupun saya pertama kali mengalami kecopetan, rumah kebobolan, dan perlakuan yang tidak senonoh dari orang yang tak dikenal di kota itu (mudah-mudahan bisa saya ceritakan lebih lanjut di tulisan berikutnya), bagi saya Sydney sudah seperti rumah kedua. Tidak akan terlupakan betapa lezatnya es krim rasa wasabi di Passion Flower di Darling Harbour dan pancake di The Rocks (ketahuan tukang makan, ya?), betapa menyenangkannya berpiknik di Pyrmont, betapa serunya mempersiapkan sebuah acara bersama teman-teman PPIA, serta betapa indahnya Circular Quay, Centennial Park, Hyde Park, dan begitu banyak tempat lainnya. Suatu hari saat sudah kembali ke Indonesia, saya menemukan tulisan di buku harian saat masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Saat itu saya sedang liburan di Sydney dan menulisnya di kamar hotel Holiday Inn Park di Oxford Street. Gue pengen deh tinggal di sini. Enak juga sih! Cuman dinginnya itu loh. Bikin orang males mandi. (Mohon maaf tata bahasa yang kacau balau. Maklum, ABG.) Saat itu sama sekali saya tidak mengira kalau tulisan saya akan menjadi kenyataan! Family Vacation 1996 Si ABG berlibur bersama keluarga. Kini, nyaris sepuluh tahun saya meninggalkan Sydney. Kalau ditanya kepingin tidak saya kembali ke sana, jawabannya sudah pasti ya! Apalagi masih banyak tempat yang belum sempat saya kunjungi. Namun, sampai saat ini kesempatan yang dinanti belum juga muncul. Mungkin saya harus menuliskan keinginan ini di buku harian lagi, ya? mskrisnarini | June 10, 2012 at 10:56 pm | Categories: Bebas, Sydney | URL: http://wp.me/p2jexE-Pg
Read more »»  
Potong Rambut (Murah) by Allira mahasiswi from Melbourne Melihat harga yang dipatok untuk jasa potong rambut di salon-salon di Australia membuatku sadar bahwa aku tidak bisa sering-sering menggonta-ganti gaya rambut selama kuliah dua tahun di Canberra. Untuk sekali potong rambut di salon, paling tidak kita harus merogoh kocek sebesar AUD$25an. Salon-salon tertentu kadang memberikan diskon khusus mahasiswa, namun potongan harganya tidak seberapa. Hasilnya juga seringkali biasa-biasa saja. Di Canberra ada juga hair stylist orang Indonesia yang bersedia memberikan jasa potong rambut di rumah seharga $10. Namun dengar-dengar dari teman, minimal harus ada dua pelanggan yang mau dipotong rambutnya sebelum sang hair stylist bersedia datang ke rumah. Wah, repot juga kalau mau potong rambut harus nyari teman barengannya dulu. Beruntunglah kalau memiliki teman yang bisa memotong rambut dan bersedia melakukannya gratis. Beberapa temanku ada juga yang berbakat untuk memotong rambutnya sendiri. Bagi yang berani ambil resiko, mungkin berminat mengikuti langkah-langkah berikut untuk potong rambut sendiri. Berhubung aku tidak berbakat untuk memotong rambut sendiri, dan juga tidak memiliki kenalan yang bisa dimintai tolong untuk memotong rambutku, maka kupilih untuk menjalankan dua strategi jitu. Pertama, sebelum pergi ke Australia, aku berkunjung ke salon dan meminta untuk dipotong rambut dengan model super pendek. Dengan demikian aku bisa membiarkan rambutku tumbuh panjang selama setahun di Australia, hingga tiba saatnya untuk pulang berlibur ke Indonesia menggunakan jatah reunion airfare ADS. Ketika kembali ke tanah air, barulah aku mencari hair stylist langgananku untuk dipotong rambut lagi. Banyak manfaatnya juga lho berambut pendek: hemat biaya untuk pemakaian shampo, hemat waktu untuk mengurus rambut, dan kepala terasa lebih ringan! Namun, ketika kembali lagi ke Australia untuk merampungkan studi, aku baru sadar ternyata iklim kering di sini membuat rambutku cepat bercabang. Oleh karenanya aku menjalankan strategi kedua, yakni memotong rambut di sekolah potong rambut! Canberra Institute of Technology (CIT) merupakan salah satu sekolah kejuruan yang membuka salon dengan mempekerjakan pelajar-pelajar magangnya. Mereka tidak hanya menawarkan jasa potong rambut, namun juga jasa manicure pedicure, spa, hingga body waxing. Harga yang ditawarkan juga jauh di bawah harga salon pada umumnya. Potong rambut perempuan misalnya $15, sedangkan untuk laki-laki $12. Berbeda dengan sekolah tata rambut yang pernah kudatangi sebelumnya di bilangan Jakarta Selatan, pelayanan di salon CIT ini terkesan lebih profesional dan membuat pelanggan nyaman tanpa merasa takut bahwa hasil tata rambutnya akan kacau. Aku ingat horornya pelayanan di sekolah tata rambut di Jakarta dulu, di mana sang pelajar magang dengan grogi terus-menerus berkeluh-kesah ketika memotong rambutku. Hati pun menjadi tidak tenteram dilayani si Mbak. Menariknya, di salon CIT, aku diajak berdiskusi oleh sang pelajar magang dan supervisor-nya tentang karakter rambutku, serta teknik-teknik apa yang bisa digunakan untuk menghasilkan potongan rambut sesuai pesanan. Keduanya menuliskan hasil observasi rambutku di sehelai kertas, kemudian menggambar beberapa sketsa profil wajahku dari berbagai sisi (depan, samping, belakang) serta rencana potongan rambut yang akan diaplikasikan. Asyik, jadi ikutan belajar nih! Jika berkunjung ke salon sekolah tata rambut, jangan lupa untuk meluangkan waktu setidaknya satu hingga dua jam untuk dilayani. Namanya juga sekolah tata rambut, ya prosesnya lebih lama dibandingkan salon biasa karena penata rambutnya masih belajar! Selain itu, memang tidak ada jaminan bahwa hasil potongan rambut kita akan bagus. Namun sesuai pengalamanku, bimbingan sang supervisor cukup ampuh untuk memastikan bahwa potongan rambut sang pelajar magang tidak akan mengecewakan. Bonusnya, aku ikut belajar tentang proses perencanaan tata rambut! Allira | May 31, 2012 at 2:51 pm | Categories: Bebas, Canberra, Kehidupan sosial | URL: http://wp.me/p2jexE-Oa
Read more »»  

Ayo Gowes di Melbourne!

Ayo Gowes di Melbourne!

by bibibobobabi
Pertama kali sampai di Melbourne, Australia, hal pertama yang langsung menarik pandangan saya adalah banyaknya sepeda wara-wiri di jalan raya, dengan tenang meluncur di dalam jalur khusus sepeda. Tentunya, saat itu saya melihat dari dalam trem, dengan masih asyik ber­-norak ria celingukan kanan-kiri. Yang ada di pikiran saya saat itu justru teman kuliah saya yang aktif di komunitas Bike2Work Jakarta. Pikir saya, “Wah, kalau Antha ada di sini, pasti dia senang sekali.”
Sebetulnya saya sudah mendengar tentang nyamannya bersepeda di Melbourne dan terlintas pikiran untuk mencoba bersepeda. Lalu niat itu sempat kandas begitu menyadari bahwa waktu tempuh dari rumah ke kampus adalah sekitar 20 menit dengan trem. Wah, rasanya saya tidak sanggup bersepeda sejauh itu, karena saya bukan orang yang senang berolahraga. Tetapi setelah saya melihat beberapa teman yang aktif bersepeda dengan rute serupa, saya mulai berpikir sepertinya patut dicoba. Apalagi tarif trem mahal sekali teman, karena pelajar internasional di negara bagian Victoria tidak mendapatkan potongan tarif pelajar. Sakit hati juga rasanya menghabiskan lebih dari AUD 100 sebulan hanya untuk transportasi.
Setelah tanya sana-sini, melihat-lihat situs gumtree, akhirnya saya menginspeksi beberapa pilihan sepeda yang sesuai dengan (ahem) tinggi badan saya, ditemani teman yang cukup mengerti tentang seluk beluk sepeda. Akhirnya dengan harga kurang dari AUD 200, saya dapatkan juga sepeda cantik berwarna merah bergigi 5 dengan keranjang di depan.
Hari-hari pertama mencoba bersepeda, saya belum berani mengayuh sampai ke kampus. Saya menggowes hanya untuk berbelanja keperluan rumah tangga yang lokasinya hanya setengah dari jarak ke kampus. Setelah beberapa lama, saya coba mengayuh sampai ke kampus. Hasilnya, alamak, walaupun dingin dan banyak angin, ternyata berkeringat sekali. Belum lagi melihat betapa cepatnya orang-orang di sini mengayuh sepeda mereka. Saya disalip ibu-ibu tua! Padahal rasanya saya sudah mengayuh sekuat tenaga. Wah malunyaaa…
Kata orang, semua itu bisa karena biasa. Untunglah, lama-lama jarak mulai tidak terasa berat, nafas mulai lebih mantap, dan yang paling penting, saya tidak lagi disalip banyak orang. Hanya kadang-kadang saja saya istirahatkan sepeda saya di rumah, kalau sedang membawa banyak barang atau sedang hujan deras. Nah, perasaan terbiasa ini ternyata membuat saya teledor. Kebetulan saya memiliki tekanan darah rendah, yang tidak pernah saya perhatikan kalau sedang kecapekan. Di satu waktu, saya berangkat ke kampus, tak lupa setelah sarapan terlebih dahulu untuk mengisi tenaga. Kira-kira dua per tiga perjalanan, tiba-tiba saya mulai merasa pusing berputar-putar dan pandangan berkunang-kunang. Waduh, gawat ini, pikir saya. Tetapi tanggung sekali, sedikit lagi sampai ke kampus. Jadilah saya paksakan, dengan harapan segera setelah sampai di kampus saya akan segera berbaring untuk memulihkan badan.
Apa daya, hanya tinggal sekitar 100 meter lagi, saya sudah tidak kuat lagi. Saya berhentikan sepeda saya dan menepi di pinggir jalan. Lemas sekali badan, untuk menyandarkan sepeda saja tidak sanggup. Jadilah saya berbaring di rerumputan pinggir jalan sambil memeluk sepeda saya. Pemandangan yang aneh sekali tentunya di antara lalu lalang kendaraan dan orang yang berjalan. Untunglah datang dua orang lokal, menanyakan keadaan saya. Dengan baik hati mereka menyandarkan sepeda saya dan memberikan minum. Mereka memaksa saya menelepon teman untuk menjemput. Setelah yakin bahwa teman saya akan datang, barulah mereka melanjutkan perjalanan bersepeda mereka sendiri, dengan sebelumnya memberikan segunung wejangan-wejangan tentang pentingnya menjaga kesehatan. Tak lama beberapa teman saya datang, ada yang membelikan obat, ada yang membawa sepeda saya pulang, ada pula yang menemani saya pulang naik tram. Ah, memang teman bagaikan keluarga jika sedang sendiri di negeri orang.
Moral of the story, teman, bersepeda itu memang sehat. Tetapi perhatikan juga kondisi badan. Saya waktu itu merasa jumawa, merasa sudah (sedikit) lebih atletis, merasa sudah seperti warga Melbourne yang asyik bersepeda ke mana-mana, merasa gembira melihat badan (sedikit) lebih kurus, merasa mampu menghemat banyak, lupa sudah dengan batas-batas kondisi fisik. Apalagi hampir semua dari kita-kita ini pasti datang dari kota yang tidak familiar dengan sepeda sebagai moda transportasi utama.
Jadi, mari bersepeda, kita manfaatkan fasilitas nyaman yang ada di negeri ini, tetapi jangan lupa untuk mencari tahu batas ketahanan fisik kita. Saya sendiri, dengan sangat menyesal, sedang mengistirahatkan sepeda menyambut datangnya musim dingin ini. Belum kuat rasanya menahan angin dingin bercampur keringat di punggung. Yang ada masuk angin terus, jenderal!
Walaupun begitu, semoga tulisan ini justru tidak mengurungkan niat bersepeda ya. Niatnya bukan untuk menakut-nakuti, justru dengan sharing kita semua diharapkan untuk tetap siaga setiap saat. Bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga dalam berlalu lintas. Bukan apa-apa, walaupun pejalan kaki dan pengendara sepeda diutamakan di sini, tetapi kadang-kadang ada saja pengemudi mobil yang suka lupa diri. Beberapa kali saya harus rem mendadak di bundaran, karena mobil di jalur kiri yang seharusnya memberi jalan, tetap saja nyelonong. Hati-hati juga kalau bersepeda melewati deretan mobil yang diparkir. Sudah banyak sekali kejadian, termasuk dialami teman saya, di mana sepeda terjungkal karena menabrak pintu mobil yang tiba-tiba dibuka.
Sebagai mahasiswi dengan anggaran terbatas di negeri seberang, kendaraan ini banyak sekali manfaat positifnya, jadi patut sekali untuk dicoba. Pastikan sepeda sudah dilengkapi dengan lampu depan, lampu belakang, dan helm. Jangan lupa periksa rantai sepeda, rem, dan ban setiap hari sebelum berangkat. Tetap semangat, tetap siaga, selamat bersepeda.
bibibobobabi | June 4, 2012 at 10:55 pm | Categories: Hobi, Kesehatan, Melbourne | URL: http://wp.me/p2jexE-On
Read more »»