Mahbub Djunaedi
(Jakarta, 27 Juli 1933 - Bandung) - wartawan, sastrawan dan politisi. Sejak
kecil Mahbub sudah terbiasa membacaMahbub Djunaedi
(Jakarta, 27 Juli 1933 - Bandung) - wartawan, sastrawan dan politisi. Sejak
kecil Mahbub sudah terbiasa membaca karya-karya pengarang terkemuka dunia
maupun tanah air. Ketika di sekolah menengah pertama di Jakarta, Mahbub remaja,
sudah menjadi staf redaksi majalah sekolahnya. Di sekolah menengah atas (SMA
Negeri I Budi Utomo, Jakarta), puisi, esai, cerpen dan karya tulis lain Mahbub
sudah dimuat di sejumlah media massa bergengsi.
karya-karya pengarang terkemuka dunia
maupun tanah air. Ketika di sekolah menengah pertama di Jakarta, Mahbub remaja,
sudah menjadi staf redaksi majalah sekolahnya. Di sekolah menengah atas (SMA
Negeri I Budi Utomo, Jakarta), puisi, esai, cerpen dan karya tulis lain Mahbub
sudah dimuat di sejumlah media massa bergengsi.
Selain romannya Dari Hari ke Hari (1982) dan Angin Musim (1985),
Mahbub juga menerjemahkan beberapa buku antara lain Di Kaki Langit Gurun Sinai
karangan Hassanin Haykal, 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah
tulisan Michael H. Hart (sudah cetak ulang hamper 20 kali), Binatangisme karya
George Orwell, Cakar-cakar Irving tulisan Art Buchwald yang juga dikenal dunia
sebagai kolumnis dengan nada humor dan satirisme yang tinggi.
Mahbub mulai bekerja di harian Duta Masyarakat tahun 1958.
Karirnya terus menanjak, hingga akhirnya memimpin suratkabar resmi Partai
Nahdlatul Ulama (NU) itu. Selain di Duta Masyarakat, karirnya di NU pun
terbilang cemerlang hingga sempat menjadi salah satu ketua pengurus besar.
Bahkan ketika NU berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Mahbub
juga sempat didaulat menjadi salah satu ketua.
Mahbub memang sudah aktif berorganisasi sejak muda, antara lain
pernah duduk dalam kepengurusan Pengurus Besar HMI dan PMII. Demikian pula di
dalam organisasi kewartawanan, Mahbub sempat terpilih menjadi Ketua Umum PWI
Pusat sesudah peristiwa G30S/PKI, menggantikan A. Karim D.P. Seperti diketahui,
Karim DP, ketika itu “diamankan” pihak berwajib karena dituduh “terlibat”
G30S/PKI.
Menurut Mahbub, pengalaman paling sulit ia rasakan ketika
memimpin PWI pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. “Pada dasarnya
yang dihadapi waktu itu semuanya sesama rekan, teman seprofesi, hanya aliran
yang berbeda.”
Mahbub Djunaedi dikenal memiliki kemampuan analisis yang tajam.
Arah tulisannya sejalan dengan keyakinan dan cita-citanya atau ideologi yang
dianutnya. Mahbud dikenal prigel dan luwes dalam menuangkan gagasan. Tulisannya
mengalir seperti halnya ketika ia menuangkan gagasan secara lisan. Mahbub
adalah penulis dengan gaya bahasa yang lugas, sederhana, dan humoris. Namanya
sangat tersohor sebagai seorang kolumnis yang piawai.
Humor ialah alat Mahbub mengajak pembaca berkelana masuk ke
dalam sesuatu masalah. Baginya, lebih baik menyentil orang dengan cara membuat
sasaran yang dikritiknya tersenyum daripada membuatnya murka. Dengan ketawa,
semua masalah akan segera teratasi. “Bukankah humor, di samping melankolis,
juga merupakan kebiasaan kesusastraan?” katanya.
Menurut Mahbub, kebiasaan orang Indonesia yang suka ketawa
seringkali membantu mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Menurutnya, hanya orang-orang yang mempunyai intelektualitas sajalah yang mampu
menerima humor dan ketawa.
Jika anggapan ini betul, menurut Mahbub, benarlah anggapan bahwa
rakyat Indonesia memiliki tingkat intelektualitas yang cukup tinggi (di samping
kesabarannya), sehingga setiap saat siap ketawa, tak peduli hidupnya berjalan
mulus atau terbanting-banting.
Di koran Duta Masyarakat yang dipimpinnya, Mahbub pernah
menulis: “Pancasila mempunyai kedudukan yang lebih agung dibanding Declaration
of Independence, yang disusun dan dibacakan Thomas Jefferson sebagai pernyataan
kemerdekaan Amerika Serikat tanggal 4 Juli 1776, maupun dengan Manifesto
Komunis yang disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels tahun 1874.
Tulisan Mahbub ini membuat Soekarno terpikat, sehingga
memintanya untuk segera menghadap ke Istana. Dari sinilah awal kedekatan Mahbub
dengan Bung Karno. Mahbub tak pernah tanggung-tanggung memuji setinggi langit
sang “penyambung lidah rakyat” itu. “Kalau tidak ada Bung Karno, saya tidak
yakin persatuan dan kesatuan bangsa terbangun seperti sekarang. Selain itu,
Bung Karno memiliki kepedulian yang besar terhadap kehidupan rakyat kecil.
Beliau itu dekat dengan rakyat.” Saking kagum dan hormatnya pada Bung Karno,
Mahbub menamakan beranda depan rumahnya di Bandung dengan nama Soekarno House.
Selain itu, Mahbub adalah Ketua Majelis Pendidikan Yayasan Pendidikan Soekarno
hingga akhir hayatnya.
Ajaran Bung Karno, memang cukup mempengaruhi nasionalisme
Mahbub. Pada sebuah pertemuan wartawan di Vietnam, Mahbub menggunakan bahasa Indonesia
sebagai sarana komunikasi kendati ia cukup fasih berbahasa Inggris atau
Prancis. Inilah sikap nasionalismenya. “Bahasa Prancis bukan bahasa elu, dan
bahasa Inggris juga bukan bukan bahasa gua,”demikian alasan Mahbub.
Pengalaman menarik lainnya yakni ketika menjabat sebagai Ketua
Umum PWI Pusat, ketika harus memberi rekomendasi izin penerbitan majalah sastra
Horison. Waktu itu PWI memang diberi otoritas untuk memberi rekomendasi untuk
pengajuan izin penerbitan. Persoalan muncul ketikaa ada kekhawatiran,
Pemerintah (Orde Baru) tidak akan memperkenankan penerbitan Horison karena
keberadaan Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi majalah tersebut. Namun,
menghadapi hal tersebut, dengan enteng Mahbub mengeluarkan rekomendari meskipun
ia tahu pasti bahwa tindakannya itu akan mengundang risiko yang tidak kecil.
Hal lain yang banyak dikenang dari Mahbub Junaedi adalah gayanya
dalam membahas sesuatu masalah. Melalui tulisan-tulisannya seringkali Mahbub
membahas persoalan serius dengan pemaparan yang tajam namun dalam gaya bahasa
yang enteng dan penuh humor. Ini sangat terasa pada tulisan-tulisannya sebagai
kolumnis diberbagai media massa antara lain Kompas dan Tempo. Banyak kalangan
menilai, di Indonesia, gaya tulisan Mahbub tak ada duanya sampai sekarang. (Tim
EPI/ES. Sumber: SSWJ/TAB)
Sumber: www.pwi.or.id
Selain romannya Dari Hari ke Hari (1982) dan Angin Musim (1985),
Mahbub juga menerjemahkan beberapa buku antara lain Di Kaki Langit Gurun Sinai
karangan Hassanin Haykal, 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah
tulisan Michael H. Hart
(sudah cetak ulang hamper 20 kali), Binatangisme karya
George Orwell, Cakar-cakar Irving tulisan Art Buchwald yang juga dikenal dunia
sebagai kolumnis dengan nada humor dan satirisme yang tinggi.
Mahbub mulai bekerja di harian Duta Masyarakat tahun 1958.
Karirnya terus menanjak, hingga akhirnya memimpin suratkabar resmi Partai
Nahdlatul Ulama (NU) itu. Selain di Duta Masyarakat, karirnya di NU pun
terbilang cemerlang hingga sempat menjadi salah satu ketua pengurus besar.
Bahkan ketika NU berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Mahbub
juga sempat didaulat menjadi salah satu ketua.
Mahbub memang sudah aktif berorganisasi sejak muda, antara lain
pernah duduk dalam kepengurusan Pengurus Besar HMI dan PMII. Demikian pula di
dalam organisasi kewartawanan, Mahbub sempat terpilih menjadi Ketua Umum PWI
Pusat sesudah peristiwa G30S/PKI, menggantikan A. Karim D.P. Seperti diketahui,
Karim DP, ketika itu “diamankan” pihak berwajib karena dituduh “terlibat”
G30S/PKI.
Menurut Mahbub, pengalaman paling sulit ia rasakan ketika
memimpin PWI pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. “Pada dasarnya
yang dihadapi waktu itu semuanya sesama rekan, teman seprofesi, hanya aliran
yang berbeda.”
Mahbub Djunaedi dikenal memiliki kemampuan analisis yang tajam.
Arah tulisannya sejalan dengan keyakinan dan cita-citanya atau ideologi yang
dianutnya. Mahbud dikenal prigel dan luwes dalam menuangkan gagasan. Tulisannya
mengalir seperti halnya ketika ia menuangkan gagasan secara lisan. Mahbub
adalah penulis dengan gaya bahasa yang lugas, sederhana, dan humoris. Namanya
sangat tersohor sebagai seorang kolumnis yang piawai.
Humor ialah alat Mahbub mengajak pembaca berkelana masuk ke
dalam sesuatu masalah. Baginya, lebih baik menyentil orang dengan cara membuat
sasaran yang dikritiknya tersenyum daripada membuatnya murka. Dengan ketawa,
semua masalah akan segera teratasi. “Bukankah humor, di samping melankolis,
juga merupakan kebiasaan kesusastraan?” katanya.
Menurut Mahbub, kebiasaan orang Indonesia yang suka ketawa
seringkali membantu mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Menurutnya, hanya orang-orang yang mempunyai intelektualitas sajalah yang mampu
menerima humor dan ketawa.
Jika anggapan ini betul, menurut Mahbub, benarlah anggapan bahwa
rakyat Indonesia memiliki tingkat intelektualitas yang cukup tinggi (di samping
kesabarannya), sehingga setiap saat siap ketawa, tak peduli hidupnya berjalan
mulus atau terbanting-banting.
Di koran Duta Masyarakat yang dipimpinnya, Mahbub pernah
menulis: “Pancasila mempunyai kedudukan yang lebih agung dibanding Declaration
of Independence, yang disusun dan dibacakan Thomas Jefferson sebagai pernyataan
kemerdekaan Amerika Serikat tanggal 4 Juli 1776, maupun dengan Manifesto
Komunis yang disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels tahun 1874.
Tulisan Mahbub ini membuat Soekarno terpikat, sehingga
memintanya untuk segera menghadap ke Istana. Dari sinilah awal kedekatan Mahbub
dengan Bung Karno. Mahbub tak pernah tanggung-tanggung memuji setinggi langit
sang “penyambung lidah rakyat” itu. “Kalau tidak ada Bung Karno, saya tidak
yakin persatuan dan kesatuan bangsa terbangun seperti sekarang. Selain itu,
Bung Karno memiliki kepedulian yang besar terhadap kehidupan rakyat kecil.
Beliau itu dekat dengan rakyat.” Saking kagum dan hormatnya pada Bung Karno,
Mahbub menamakan beranda depan rumahnya di Bandung dengan nama Soekarno House.
Selain itu, Mahbub adalah Ketua Majelis Pendidikan Yayasan Pendidikan Soekarno
hingga akhir hayatnya.
Ajaran Bung Karno, memang cukup mempengaruhi nasionalisme
Mahbub. Pada sebuah pertemuan wartawan di Vietnam, Mahbub menggunakan bahasa Indonesia
sebagai sarana komunikasi kendati ia cukup fasih berbahasa Inggris atau
Prancis. Inilah sikap nasionalismenya. “Bahasa Prancis bukan bahasa elu, dan
bahasa Inggris juga bukan bukan bahasa gua,”demikian alasan Mahbub.
Pengalaman menarik lainnya yakni ketika menjabat sebagai Ketua
Umum PWI Pusat, ketika harus memberi rekomendasi izin penerbitan majalah sastra
Horison. Waktu itu PWI memang diberi otoritas untuk memberi rekomendasi untuk
pengajuan izin penerbitan. Persoalan muncul ketikaa ada kekhawatiran,
Pemerintah (Orde Baru) tidak akan memperkenankan penerbitan Horison karena
keberadaan Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi majalah tersebut. Namun,
menghadapi hal tersebut, dengan enteng Mahbub mengeluarkan rekomendari meskipun
ia tahu pasti bahwa tindakannya itu akan mengundang risiko yang tidak kecil.
Hal lain yang banyak dikenang dari Mahbub Junaedi adalah gayanya
dalam membahas sesuatu masalah. Melalui tulisan-tulisannya seringkali Mahbub
membahas persoalan serius dengan pemaparan yang tajam namun dalam gaya bahasa
yang enteng dan penuh humor. Ini sangat terasa pada tulisan-tulisannya sebagai
kolumnis diberbagai media massa antara lain Kompas dan Tempo. Banyak kalangan
menilai, di Indonesia, gaya tulisan Mahbub tak ada duanya sampai sekarang. (Tim
EPI/ES. Sumber: SSWJ/TAB)
Sumber: www.pwi.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar